Imam Bukhari dalam kitab shahîh-nya menamainya surah wa asy-Syams wa Dhuhaha, sesuai bunyi ayat pertamanya. Nama ini lebih baik daripada sekadar menyebut surah asy-Syams karena ada surah lain yang juga menyebut kata asy-syams pada awalnya, yaitu surah at-Takwîr. Tidak ada nama untuknya kecuali yang disebut ini.
Tujuan utama surah ini adalah anjuran untuk melakukan aneka kebajikan dan menghindari keburukan-keburukan. Itu ditekankan dengan aneka sumpah yang menyebut sekian macam hal agar manusia memerhatikannya guna mencapai tujuan tersebut sebab, kalau tidak, mereka terancam mengalami bencana sebagaimana yang dialami oleh generasi terdahulu.
Thabathaba'i menulis bahwa surah ini mengingatkan bahwa kebahagiaan manusia—yang mengenal takwa dan kedurhakaan berdasar pengenalan yang dilakukan Allah kepada-Nya—adalah dengan menyucikan dan mengembangkan dirinya dengan pengembangan yang baik serta menghiasinya dengan ketakwaan dan menghindarkannya dari segala kedurhakaan. Sebaliknya, ketidakberhasilan meraih sukses adalah dengan memendam potensi positif itu. Ini dibuktikan oleh surah ini dengan pengalaman pahit generasi terdahulu.
Sayyid Quthub secara singkat melukiskan surah ini sebagai uraian menyangkut hakikat jiwa manusia serta potensi naluriahnya yang suci, peranan manusia terhadap dirinya, dan tanggung jawabnya menyangkut kesudahan hidupnya. Hakikat tersebut dikaitkan oleh surah ini dengan hakikat-hakikat yang terdapat di alam raya serta kenyataan-kenyataannya, sambil mengemukakan contoh dari kekecewaan yang menimpa mereka yang tidak menyucikan jiwanya.
Al-Biqa'i memahami tema surah ini sebagai bukti tentang kuasa Allah mengendalikan jiwa manusia—yang merupakan matahari jasmaninya—
menuju kebahagiaan atau kesengsaraan, sebagaimana kuasa-Nya mengendalikan matahari bahkan seantero alam raya ini. Namanya, asy-Syams (Matahari), menunjuk tujuan tersebut. Demikian lebih kurang al-Biqa'i
Surah ini dinilai sebagai surah yang ke-26 dari segi urutan turun surah.
Ia turun sesudah al-Qadr dan sebelum surah al-Buruj. Jumlah ayat-ayatnya
menurut perhitungan banyak ulama sebanyak 15 ayat.
Dalam surah yang lalu (al-Balad), ditegaskan bahwa manusia hidup dalam kesulitan sambil menekankan bahwa siapa pun yang menyimpang dari jalan Allah, maka dia akan hidup dalam kesulitan abadi, yakni neraka. Karena itu, pada awal surah ini Allah bersumpah bahwa hal itu demikian berdasar sunnah/ketentuan yang ditetapkan dan berlaku umum bagi siapa pun. Untuk menekankan hal tersebut Allah dalam surah ini bersumpah dengan tujuh fenomena alam:
1.Matahari dan cahayanya di pagi hari.
2.Bulan yang memantulkan cahaya matahari ketika mengiringinya.
3.Siang ketika ia menampakkan dengan jelas keberadaan matahari.
4.Malam ketika menutupi cahaya matahari dengan kegelapan.
5.Langit dengan penciptaan dan peninggiannya yang demikian hebat.
6.Bumi serta penghamparannya yang demikian mengagumkan.
7.Jiwa manusia serta penyempurnaan ciptaannya yang diilhami Allah potensi kedurhakaan dan ketakwaannya.
Setelah bersumpah dengan hal-hal di atas, ayat 9 dan 10 menjelaskan apa yang hendak ditekankan-Nya dengan sumpah-sumpah di atas, yaitu sungguh beruntung meraih segala apa yang diharapkannya siapa yang menyucikan jiwa dan mengembangkan dirinya [9] dan sungguh merugilah siapa yang memendamnya, yakni menyembunyikan kesucian jiwanya [10].
Pelajaran Yang Dapat Ditarik Dari Ayat 1-10
1.Manusia adalah makhluk yang memiliki tabiat, potensi, dan kecenderungan ganda, yakni positif ke arah baik atau negatif ke arah buruk. Jika ingin berbahagia, maka dia harus mengembangkan diri ke arah yang baik. Karena itu, kedurhakaan terjadi akibat ulah manusia sendiri yang enggan menggunakan potensi positifnya.
2.Allah menganugerahi manusia pengetahuan mendasar tentang hal-hal yang bersifat aksiomatik; bermula dengan dorongan naluriah kepada hal-hal yang bermanfaat, seperti keinginan bayi menyusu, dorongan untuk menghindari bahaya, dan lain-lain hingga mencapai tahap awal dari kemampuan meraih pengetahuan yang bersifat akliah. Allah juga menganugerahi manusia potensi untuk mengetahui hal-hal mendasar menyangkut kebaikan dan keburukan.
3.Daya-daya manusia sangat banyak dan dapat terus-menerus dikembangkan, karena itu yang berbahagia adalah yang terus mengembangkan daya-daya itu.
4.Manusia tidak dituntut untuk membunuh dan memendam nafsunya. Karena nafsu pun dibutuhkan dalam hidup ini, seperti nafsu makan, seks, amarah terhadap keburukan. Yang dituntut adalah pengendalian nafsu itu agar mengarah kepada kebaikan dan tidak melampaui batas.
5.Penyucian jiwa adalah upaya sungguh-sungguh agar matahari kalbu manusia tidak mengalami gerhana, dan bulannya selalu memberi penerangan. Ia harus berusaha agar siangnya tidak keruh, dan tidak pula kegelapannya bersinambung. Cara untuk meraih hal tersebut adalah memerhatikan hal-hal spiritual yang serupa dengan hal-hal material yang digunakan Allah bersumpah itu. Hal spiritual yang serupa dengan matahari adalah tuntunan kenabian. Semua yang berkaitan dengan kenabian memiliki cahaya benderang dan kesucian yang mantap.
Ayat yang lalu menegaskan kerugian siapa yang mengotori jiwanya dengan memendam potensi positifnya. Ayat-ayat 11-15 surat ini memberi contoh tentang mereka, yaitu kaum Tsamud yang telah mendustakan rasul mereka, yakni Nabi Shaleh as., karena mereka mengotori jiwanya sehingga melampaui batas [11]. Itu sangat jelas ketika tampil salah seorang di antara mereka yang merupakan orang yang paling celaka di antara mereka untuk mengganggu unta yang dijadikan Allah sebagai mukjizat Nabi Shaleh [12]*). Melihat hal tersebut, Nabi Shaleh as. memperingatkan semua anggota masyarakat kaum Tsamud itu sambil meminta agar mereka membiarkan unta betina itu bebas dan tidak mengganggunya atau mengambil minumannya pada hari yang ditetapkan khusus untuknya [13].
Peringatan Nabi Shaleh as. tidak digubris oleh kaumnya, bahkan mereka mengingkari kenabian beliau. Lalu, mereka menyembelih unta itu maka mereka dibinasakan Allah dengan suara menggelegar atau dengan menjungkirbalikkan tanah tempat mereka berpijak disebabkan dosa mereka, sehingga Dia Yang Mahakuasa itu meratakan mereka dengan tanah [14]. Surah ini ditutup oleh ayat 15 yang menyatakan bahwa Allah swt. sama sekali tidak takut, yakni peduli apapun, akibat penyiksaan itu [15].**)
*) Kaum Tsamud terkenal dengan kemahiran mereka dalam memahat. Nabi Shaleh as. menunjukkan bukti kenabiannya dengan “memahat” sebuah batu karang yang menjelma—atas izin Allah—menjadi seekor unta betina yang benar-benar hidup. Mereka melihatnya minum dan mereka juga dapat meminum susu unta itu. Allah memerintahkan mereka untuk tidak mengganggu unta tersebut, tetapi kaum Tsamud bukan saja mengganggunya, tapi menyembelihnya sehingga jatuhlah sanksi Allah terhadap mereka.
**)Firman-Nya: Allah tidak takut apa pun akibat penyiksaan itu, merupakan tamsil. Tidak jarang seseorang merasa takut dan berhati-hati bahkan boleh jadi merasa gentar bila ada dendam yang mengundang pembalasan dari keluarga siapa yang pernah dia siksa. Ayat di atas menyatakan bahwa hal seperti itu
tidaklah menyentuh Allah swt. Allah bukan seperti manusia yang tidak jarang mempertimbangkan sanksi yang akan dijatuhkan karena mengkhawatirkan dampak buruk sanksinya.
Pelajaran Yang Dapat Ditarik Dari Ayat 11-15
1.Mukjizat, yakni bukti kebenaran rasul Allah, disesuaikan Tuhan dengan bidang kemahiran masyarakat yang ditemuinya. Kaum Nabi Shaleh mahir dalam seni pahat, maka ditampilkan unta yang benar-benar hidup yang lahir dari sebuah batu karang.
2.Siapa yang menyetujui satu perbuatan, maka persetujuannya itu sudah dapat menjadikan dia salah satu dari mereka yang terlibat dalam perbuatan itu.
3.Masyarakat akan mengalami akibat buruk dari apa yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok dari anggotanya bila mereka menyetujui perbuatan orang atau kelompok itu. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang terikat oleh pandangan yang sama.
Demikian, wa Allâh A‘lam.
Sumber : Detik.com dari Tafsir Al-Mishbah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar