Surah ini mengandung isyarat tentang kedudukan mulia kota Mekkah sekaligus menjelaskan bahwa manusia diciptakan dengan kodrat serta potensi menghadapi serba-kesulitan sejak ia dilahirkan hingga sampai ke liang lahat dan kenyataan tersebut mengharuskannya selalu siap berjuang menghadapi berbagai tantangan. Salah satu bentuk perjuangan tersebut adalah perjuangan mengangkat taraf hidup orang-orang lemah, seperti anak-anak yatim.
Tujuan utama surah ini, menurut al-Biqa'i, adalah membuktikan betapa manusia sangat lemah dan bahwa kuasa dan kekuatan hanya dimiliki Allah SWT. Pada surah ini—menurutnya—diuraikan keresahan dan kesedihan manusia serta sebab yang mengantarnya ke sana, baik ia suka atau tidak, sambil menjelaskan cara untuk mengatasi keresahan itu.
Namanya al-Balad, yang menunjuk kota Mekkah, mengisyaratkan hal itu. Siapa yang memerhatikan rasa aman yang dinikmati penduduk Mekkah dan rezeki serta kesejahteraan yang melimpah di sana—padahal negeri itu gersang, berbeda dengan negeri yang lain yang lebih kaya dan kuat—siapa yang memerhatikan hal tersebut akan menyadari tujuan utama uraian surah ini. Demikian lebih kurang al-Biqa'i.
Surah ini merupakan wahyu yang ke-34 yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Ia turun sebelum surah Qaf dan sesudah surah ath-Thariq. Ayat-ayatnya berjumlah 20 ayat.
Akhir surah yang lalu (al-Fajr), menguraikan tentang surga yang merupakan tempat terbaik yang dihuni makhluk, apalagi surga yang disebut di sana dinisbahkan kepada Allah (surga-Ku), yang mengisyaratkan bahwa ia adalah surga yang tertinggi. Pada awal surah ini Allah bersumpah dengan kota yang termulia, yakni Mekkah dan jiwa yang termulia, yakni Nabi Muhammad SAW
Allah berfirman pada ayat 1 dan 2: bahwa Aku tidak bersumpah atau Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini*) yakni Mekkah, dan Aku bersumpah juga denganmu wahai Nabi Muhammad yang sedang bertempat tinggal di kota Mekkah. Dapat juga kedua ayat di atas bermakna: "Aku benar-benar bersumpah dengan kota Mekkah, walaupun engkau wahai Nabi Muhammad diperlakukan di sana secara tidak wajar. Perlakuan tidak wajar itu tidak mengurangi kebesaran dan keagungan kota ini di sisi-Ku."
Selanjutnya, melalui ayat 3 Allah melanjutkan sumpahnya dengan ber Firman: "Dan Aku juga bersumpah demi bapak kandung dan apa yang dia lahirkan, yakni anak keturunannya". Sumpah-sumpah tersebut untuk menekankan bahwa Sesungguhnya Kami, yakni Allah, dengan perantaraan ibu bapak telah menciptakan manusia seluruhnya berada dalam keadaan susah payah, yakni selalu menghadapi kesulitan dan keresahan [4].
*)Penggunaan isyarat dekat hadza/ini untuk menunjuk Mekkah, bertujuan menggambarkan bahwa kota tersebut selalu dekat di hati kaum Muslim, sehingga betapapun seseorang telah berkali-kali berkunjung ke sana, hatinya masih selalu dekat dan berpaut dengan kota itu.
Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 1-4
1.Betapapun seseorang mengalami kesulitan dan penderitaan fisik dalam kunjungannya ke Tanah Suci, tapi hal itu tidak menjadikannya jera, bahkan sebaliknya selalu ingin datang berkali-kali ke sana. Ini adalah berkat doa Nabi Ibrahim AS (baca: QS. Ibrâhîm/14: 37).
2.Jangan merasa kesal dan membenci kota Mekkah kendati—seandainya—penduduknya berlaku tidak wajar kepada Anda. Penghinaan oleh penduduk Mekkah yang telah mencapai puncaknya terhadap manusia teragung di sisi Allah, Nabi Muhammad SAW. tidaklah menghapus kesucian kota itu dan kewajiban menghormatinya.
3.Tariklah pelajaran dari kota Mekkah. Siapa yang memerhatikan rasa aman dan damai yang dinikmati serta kesejahteraan yang melimpah di sana—padahal negeri itu gersang, berbeda dengan negeri yang lain yang lebih kaya dan kuat—akan menyadari bahwa keberadaan di sisi rumah Allah adalah sumber kedamaian dan kesejahteraan.
4.Sumpah Allah tentang anak dan bapak, bukan saja untuk menggugah manusia memikirkan tentang kuasa Allah menurunkan sifat-sifat fisik dan psikis ibu bapak kepada anak, tetapi juga untuk mengingatkan bapak bagaimana dia harus mendidik anak, dan bagaimana anak menghormati orang tua, sehingga terjalin hubungan harmonis antara keduanya.
5.Semua manusia berpotensi mengalami keresahan dan menerima tempaan peristiwa yang tidak mudah dielakkan, kalau pun dia mampu mengelak, maka kesulitan lain akan muncul di hadapannya.Yang bebas dari lapar, belum tentu bebas dari penyakit, yang bebas dari keduanya, tidak mungkin bebas dari ketuaan—bila usianya berlanjut—sedang ketuaan sedikit atau banyak akan menggelisahkannya dan pada akhirnya kematian akan merenggut jiwanya tanpa izinnya. Kesulitan lain yang tidak dapat dielakkan adalah kewajiban membentengi diri dari rayuan nafsu dan setan. Sehingga pada akhirnya tidak ada manusia yang luput dari keresahan dan kesulitan.
Semua manusia tidak dapat luput dari kesulitan. Ada di antara mereka yang melakukan penganiayaan untuk menanggulangi kesulitannya, ada juga yang sedemikian angkuh sehingga berbangga dengan perolehannya. Mereka diperingatkan oleh ayat 5 dengan satu pertanyaan yang diharapkan menggugahnya, yaitu: Apakah dia menduga bahwa tidak ada yang berkuasa atasnya atau tidak ada yang akan mengatasi dan mengalahkannya? Ayat 6 melukiskan keangkuhannya, yakni dia berkata: "Aku telah menghabiskan secara sia-sia harta yang banyak."
Menanggapi keangkuhan si pengucap dan semacamnya, ayat 7 mengingatkan bahwa: Apakah dia menduga bahwa tiada satu pun yang melihat dengan mata kepala atau mata pikiran kegiatan-kegiatannya? Sungguh keliru dugaannya! Bukankah Kami telah menjadikan untuknya dua mata sehingga dapat melihat? [8], dan Kami juga menjadikan untuknya satu lidah dan dua bibir [9] agar dia dapat bercakap-cakap sehingga dapat menjelaskan apa yang dikandung oleh benak dan hatinya? Di samping itu, Kami juga telah menunjukinya dua jalan [10], yaitu yang hak dan yang batil dalam kepercayaan, yang benar dan bohong dalam ucapan, yang baik dan buruk dalam perbuatan. Semua itu mestinya mengantarnya sadar bahwa ada yang lebih ber kuasa atas dirinya dan ada juga yang memerhatikan dan mengawasinya.
Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 5-10
1.Jangan pernah menduga bahwa tidak ada yang mengatasi Anda, baik dalam kekuatan fisik, ilmu, harta, atau apa pun. Kalau kini Anda merasa demikian, maka yakinlah bahwa itu tidak langgeng. Pasti satu ketika—cepat atau lambat—akan ada yang mengatasi Anda. Karena itu, jika kemampuan Anda mendorong Anda untuk berlaku aniaya, maka ingatlah kuasa Allah atas diri Anda.
2.Sejak masa lampau, kini, dan akan datang selalu saja ada yang mengamati dan mengawasi manusia. Allah Maha Mengetahui, sekaligus menugaskan malaikat-malaikat untuk menjadi pengawas manusia.
3.Dengan memanfaatkan mata (mata kepala atau mata hati) manusia akan sampai kepada kesimpulan bahwa ada yang Mahakuasa, sehingga dengan demikian dia tidak akan menduga bahwa tidak ada yang dapat mengatasi dan mengalahkannya. Dengan memanfaatkan bibir dan lidah dengan baik, pasti dia tidak akan mengucapkan kalimat yang tidak wajar diucapkan seperti yang terekam oleh ayat 5 sampai 10 surat ini.
4.Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi baik dan buruk. Allah telah mengilhaminya kemampuan membedakan antara keduanya dan juga menganugerahkannya potensi untuk mengarah kepada kebaikan atau keburukan. Itulah antara lain yang dimaksud oleh firman-Nya: "Kami telah menunjukkannya dua jalan."
Ayat-ayat yang lalu menggambarkan bahwa Allah telah menganugerahi manusia petunjuk sehingga dapat memilih dua jalan; jalan kebaikan atau jalan keburukan. Ayat 11 mengajak dan mendorong semua manusia agar memilih jalan kebaikan. Allah berfirman: Maka tidakkah sebaiknya dia bangkit dengan penuh semangat dan kesungguhan untuk terjun menempuh jalan yang mendaki lagi sukar, yakni jalan
kebaikan itu?
Ayat 12 menggambarkan agung dan mulianya jalan itu dengan menyatakan: Apakah yang menjadikanmu mengetahui tentang jalan yang mendaki lagi sukar itu? Engkau tidak dapat membayangkan betapa keagungan dan hakikatnya.
Selanjutnya, ayat 13 memberikan gambaran tentang jalan itu, yakni melepaskan budak atau memerdekakan budak,*) atau membebaskan siapa pun yang terlilit oleh kesulitan atau penganiayaan. Setelah menegaskan perlunya penegakkan peri kemanusiaan, maka langkah kedua adalah upaya menyebarluaskan Keadilan Sosial yang disebut oleh ayat 14, yakni pemberian makanan pada hari kelaparan [14], lebih-lebih untuk anak yang belum dewasa, yang telah wafat ayahnya dan yang serupa dengan mereka yang ada hubungan kedekatan [15], atau orang miskin yang sangat fakir yang sangat membutuhkan bantuan [16].
*)Banyak cara yang ditempuh Islam untuk menghapus perbudakan, antara lain:
a.Para pemilik budak diperintahkan untuk memberi kesempatan kepada budak-budak mereka bekerja demi membebaskan dirinya.
b.Tawanan perang yang diperbudak dapat dibebaskan dengan tebusan bahkan tanpa tebusan.
c.Menetapkan kewajiban memerdekakan hamba sebagai tebusan dosa atau pelanggaran tertentu, seperti pembunuhan tak sengaja, sumpah palsu, dan zihar.
d.Bahwa pembebasan budak tidak dilakukannya dengan perintah langsung sehingga menghapusnya seketika, karena ketika itu perbudakan merajalela di mana-mana. Para budak hidup, makan, dan tinggal bersama tuannya. Kalau penghapusannya dilakukan tanpa bertahap, maka akan dikemanakan mereka? Pastilah terjadi gejolak sosial dan problema yang lebih parah daripada apa yang dialami oleh para buruh yang diputus hubungan kerjanya. Di samping itu, apa arti pembebasan jika sikap terhadap kaum lemah tidak berubah?
Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 11-16
1.Kegiatan membantu kaum dhuafa (lemah) adalah salah satu kegiatan yang terbaik dan sangat direstui Allah. Itu adalah jalan guna meraih ketinggian dan kejayaan.
2.Perbudakaan sangat dibenci Islam dan diupayakannya agar terhapus dari persada bumi ini.
3.Syarat diterimanya kebajikan adalah iman kepada Allah. Tanpa keimanan, amal menjadi sia-sia di Hari Kemudian.
Inti Sari Kandungan Ayat (Ayat 17-20)
Ayat 17 melanjutkan bahwa sifat pelaku kebajikan-kebajikan yang disebut sebelum ini. Pelakunya termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan tentang perlunya kesabaran dan ketabahan dalam melaksanakan ketaatan dan menghadapi cobaan serta saling berpesan tentang mutlaknya berkasih sayang antar seluruh makhluk. Mereka itulah— lanjut ayat 18—Ashhâb al-Maimanah, yakni golongan kanan, yang akan menerima kitab amalnya dengan tangan kanan. Mereka itulah penghuni surga. Sedang orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, yakni yang menutupi kebenaran yang disampaikan oleh Rasul dan mengingkarinya, atau yang sering kali melakukan kegiatan yang bertentangan dengan tujuan/ajaran agama, merekalah—bukan selain mereka— yang merupakan Ashhâb al-Masy’amah, yakni golongan kiri. Mereka kelak akan diliputi dan terkuasai oleh api neraka yang
tertutup sehingga mereka tidak dapat keluar darinya.
Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 17-20
1.Orang beriman selalu nasihat-menasihati menyangkut dua hal pokok, yaitu kesabaran dan berkasih-kasihan. Nasihat tentang kesabaran melahirkan tenggang rasa terhadap sesama manusia, dan nasihat tentang berkasih-kasihan melahirkan uluran tangan kepada setiap yang membutuhkan.
2.Al-Qur’an menjadikan kanan sebagai lambang kebaikan, kekuatan, dan keberkatan. Sebaliknya, kiri adalah lambang keburukan, kelemahan, dan kebejatan. Karena itu, lakukan hal-hal yang baik dengan menggunakan tangan/kaki kanan. Sedang dalam menghadapi sesuatu yang buruk atau tidak menyenangkan, maka lakukanlah dengan tangan/ kaki kiri.
Demikian, wa Allâh A‘lam.
Sumber : Detik.com dari Tafsir Al-Mishbah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar