SEMANGAT ISLAMI Mewarisi ajaran nabi tapi tetap sesuai zaman, meluruskan tapi tak merusak akidah dan syariah

Surah adh-Dhuha

Surah adh-Dhuha terdiri dari 11 ayat. Kata adh-Dhuha, yang berarti 'Waktu matahari naik sepenggalahan', diambil dari ayat pertama.

Surah adh-Dhuha disepakati oleh ulama sebagai surah yang turun sebelum Nabi berhijrah ke Madinah. Namanya adh-Dhuha dikenal luas di kalangan ulama, hanya saja ada yang menamainya persis serupa dengan awal ayatnya dan ada juga yang menamainya sekadar dengan adh-Dhuha.

Tema utamanya adalah sanggahan terhadap dugaan yang menyatakan bahwa Allah telah meninggalkan Rasul SAW akibat tidak hadirnya wahyu yang selama ini telah diterima oleh Rasul SAW, sambil menghibur beliau dengan perolehan anugerah Allah hingga beliau puas.

Al-Biqa'i berpendapat bahwa tujuan utama surah ini adalah menguraikan apa yang disebut pada akhir surah lalu—surah al-Lail—bahwa yang paling bertakwa di antara seluruh orang bertakwa adalah dia yang mutlak paling bertakwa dalam pandangan keridhaan Allah, yakni Nabi Muhammad SAW. Keridhaan-Nya tidak terputus bagi beliau di dunia dan akhirat. Ini disebabkan terhiasinya beliau dengan sifat-sifat sempurna yang merupakan sarana mengantar kepada tujuan, bagaikan adh-Dhuha yang merupakan cahaya matahari yang paling sempurna. Dengan demikian, nama surah ini menunjuk kepada tujuan tersebut. Demikian lebih kurang al-Biqa'i.

Ayat-ayat surah ini sebanyak 11 ayat. Sebelum turunnya surah ini, Rasul saw. telah sepuluh kali menerima wahyu. Dengan merujuk kepada penelitian sejumlah pakar Al Qur'an dan sementara orientalis, seperti Noldeke, diperoleh informasi bahwa sepuluh surah (bagian surah) pertama yang diterima Nabi Muhammad saw. ialah: 1. Iqra', 2. al-Qalam, 3. al-Muzzammil, 4. al-Muddatstsir, 5. al-Lahab, 6. at-Takwir, 7. Sabbihisma, 8. Alam Nasyrah, 9. al-'Ashr, dan 10. al-Fajr. Setelah turunnya ayat-ayat pada ke-10 surah tersebut, tiba-tiba wahyu 'terputus' kedatangannya.

Ketidakhadiran wahyu Al Qur'an, seperti selama ini diterima Nabi SAW, melahirkan berbagai tanggapan masyarakat bahkan dampak negatif dalam jiwa Nabi sendiri; beliau menjadi gelisah, walaupun tidak sampai kepada suatu tingkat yang digambarkan oleh penafsir Muhammad 'Abduh dan al-Maraghi—berdasarkan suatu riwayat—bahwa "Nabi sering kali pergi ke puncak gunung untuk menjatuhkan dirinya (membunuh diri)," Wa al-'Iyadzu billah. "Tuhan Muhammad telah meninggalkan dan membencinya", demikian tanggapan sementara kaum musyrikin atas ketidakhadiran wahyu itu.

Adapun mengenai siapa yang mengucapkan kata-kata ini, yang kemudian dibantah oleh ayat ketiga surah ini, tidak diketahui jelas karena banyak riwayat yang simpang siur. Satu riwayat menyatakan bahwa orang itu adalah Ummu Jamil istri Abu Lahab; ada pula riwayat yang mengatakan bahwa yang berkata demikian adalah Khadijah RA istri Nabi sendiri. Muhammad 'Abduh berpendapat bahwa ucapan itu adalah gambaran tentang gejolak jiwa Nabi sendiri yang merasa telah ditinggalkan dan dibenci oleh Tuhan.

'Abduh menolak pandangan yang menyatakan bahwa kaum musyrikin yang mengucapkan kata-kata itu dengan alasan bagaimana mereka mengetahui ketidakhadiran wahyu sampai mereka dapat memberi tanggapan semacam itu? Yang terjadi—menurutnya—adalah karena Nabi SAW sudah demikian rindu dengan kehadiran wahyu, setelah merasakan manisnya berhubungan dengan wahyu Ilahi, dan setiap kerinduan melahirkan kegelisahan, setiap kegelisahan melahirkan rasa takut. Rasa takut ini dialami oleh setiap manusia. Sedang, Rasul SAW adalah manusia yang hanya berbeda dengan manusia lain dari segi perolehan wahyu semata-mata, sebagaimana ditegaskan Allah dalam banyak tempat di dalam Al Qur'an, seperti: "Aku hanyalah seorang manusia seperti kamu (tetapi) yang mendapat wahyu." Demikian pendapat Muhammad 'Abduh.

Betapapun berbeda-beda riwayat itu, yang dapat dipastikan adalah bahwa surah ini turun sebagai bantahan terhadap dugaan tersebut sekaligus hiburan kepada Nabi SAW menyangkut masa depan risalah yang diembannya. Mengapa wahyu tidak datang sebagaimana biasanya? Riwayat yang dikemukakan oleh ath-Thabarani menyatakan bahwa seekor anak anjing mati di kamar tidur Nabi, sedang Jibril enggan masuk di satu rumah yang di dalamnya terdapat anjing, dan nanti setelah bangkai anjing itu dikeluarkan, barulah malaikat Jibril datang.

Riwayat ini memiliki kelemahan-kelemahan, baik dari segi sanad (rangkaian para perawinya) maupun dari segi matan (kandungan beritanya). Sebentar kita akan kembali membahas persoalan ini.

Berapa lamakah Nabi SAW menantikan kehadiran wahyu sehingga timbul tanggapan negatif di atas? Berbeda-beda pula riwayat menyangkut hal ini. Imam Bukhari menyatakan 2 atau 3 hari, sedang Ibn Jarîr ath-Thabari mendukung riwayat yang menyatakan 12 hari. Ada juga riwayat yang menyatakan 15 bahkan 40 hari, tentunya semakin lama jarak antara keduanya semakin besar kegelisahan dan tanggapan negatif, demikian pula sebaliknya, sehingga riwayat Bukhâri di atas agaknya dapat diartikan sebagai '2-3 hari' dalam arti beberapa hari.

Surah ini merupakan awal dari surah yang dinamai Qishar al-Mufashshal. Ketika turunnya Nabi SAW bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar), dan dari pengamalan beliau inilah para ulama menganjurkan agar setiap selesai membaca surah ini dan surah-surah yang tercantum dalam Mushhaf sesudah adh-Dhuha agar bertakbir pula, baik pembacaan tersebut dalam salat maupun di luar salat.

Ketidakhadiran wahyu al-Qur’an, seperti yang selama ini diterima oleh Nabi Muhammad SAW, melahirkan dampak negatif dalam jiwa beliau sehingga melahirkan semacam kegelisahan. Kegelisahan menjadi-jadi dengan komentar berbagai kalangan masyarakat yang menyatakan bahwa, "Tuhan Muhammad telah meninggalkan dan membencinya."

Untuk membantah komentar-komentar tersebut sekaligus menenangkan hati Nabi SAW, Allah SWT bersumpah: Demi adh-Duha, yakni matahari ketika naik sepenggalahan (1).*) Dan demi malam saat ia hening (2).**) Allah tidak meninggalkanmu dan tidak pula membenci (3), dengan kebencian yang luar biasa, baik terhadap siapa pun apalagi terhadapmu. Selanjutnya, ayat 4 menegaskan bahwa sungguh akhirat, yakni masa datang lebih baik bagimu wahai Nabi Muhammad dari pada masa lalu. Selanjutnya, ayat 5 yang menyatakan bahwa Tuhan Pemeliharamu pasti akan memberimu aneka karunia sampai engkau puas.

*) Kehadiran wahyu dilukiskan dengan cahaya matahari ketika naik sepenggalah, yang cahayanya ketika itu memancar menerangi seluruh penjuru, tetapi dalam saat yang sama ia tidak terlalu terik, sehingga tidak mengakibatkan gangguan sedikit pun, bahkan panasnya memberikan kesegaran, kenyamanan, dan kesehatan. Demikian itulah perumpamaan tuntunan-tuntunan wahyu Ilahi.

**) Ketidakhadiran tuntunan Ilahi bukan saja sama dengan kegelapan yang remang-remang pada saat Maghrib misalnya, tetapi kegelapan yang terjadi di tengah malam buta. Ketika itu tidak secercah pun cahaya matahari, kesunyiaan yang melahirkan kegelisahan pun sering kali dialami. Begitulah keadaan mereka yang tidak memperoleh bimbingan wahyu.

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 1-5

1. Nabi SAW tidak sedikit pun memiliki peranan dalam kehadiran atau ketidakhadiran wahyu. Buktinya bahwa kendati beliau sangat mendambakan kehadirannya, namun berhari-hari wahyu tak kunjung datang.

2. Matahari tidak membedakan antara satu lokasi dengan lokasi yang lain: Kalaupun ada sesuatu yang tidak disentuh oleh cahayanya, maka hal itu bukan disebabkan oleh matahari itu tetapi karena posisi lokasi itu sendiri yang terhalangi oleh sesuatu. Begitu juga tuntunan Ilahi. Siapa yang menghindari/menjauh dari lokasi pancarannya, ia tidak akan mendapatkan sinar dan kehangatannya. Karena itu mendekatlah, bukalah pintu dan jendela hati Anda agar cahaya dapat memasukinya.

3. Ketidakhadiran wahyu—dalam beberapa hari— bukan tanda bahwa Tuhan meninggalkan Nabi SAW. Kalau pun itu serupa dengan malam kelam, maka itu hanya sementara karena fajar sebentar lagi akan menyingsing. Ketidakhadirannya bertujuan memberi kesempatan beristirahat. Bukankah malam dijadikan Allah untuk beristirahat?

4. Allah sama sekali tidak membenci dengan kebencian luar biasa terhadap siapa pun. Betapa pun besar murka-Nya, namun rahmat-Nya mengalahkan amarah-Nya. Rahmat-Nya tetap menyentuh pendurhaka. Karena itu, Rasul saw. berpesan: "Cintailah kekasihmu tanpa melampaui batas karena mungkin dia akan menjadi orang yang kamu benci pada suatu saat. Dan bencilah musuhmu tanpa melampaui batas pula karena mungkin suatu ketika dia menjadi kekasihmu."

5. Masa datang bagi orang yang beriman selalu lebih baik daripada masa kininya. Karena itu, siapa yang hari ininya lebih baik dari hari esoknya maka sungguh merugi bahkan celaka dia.

Untuk lebih meyakinkan semua pihak tentang kebenaran dan kepastian janji Allah yang disebut oleh ayat-ayat yang lalu, ayat-ayat di atas menguraikan sedikit dari anugerah Allah yang telah dilimpahkan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW, Allah berfirman: Bukankah Allah mendapatimu sebagai seorang yatim yang membutuhkan perlindungan, lalu Dia melindungimu dengan menyerahkanmu kepada kakek dan pamanmu? (6).

Bukankah Allah mendapatimu sebagai seorang yang bingung, karena tidak ada kepercayaan dalam masyarakat yang memuaskan nalar dan jiwamu, lalu Dia memberi petunjuk kepadamu dengan kedatangan malaikat Jibril menyampaikan wahyu-wahyu-Ku? (7)

Bukan pulakah Allah mendapatimu seorang yang berkekurangan, yakni tidak memiliki harta benda, lalu Dia memberi kecukupan dengan rezeki-Nya serta kepuasan hati? (8).

Tiga anugerah Allah yang diingatkan kepada Nabi SAW itu dihadapkan dengan tiga petunjuk dalam rangka mensyukuri ketiga nikmat tersebut yaitu:

Adapun anak yatim, maka janganlah sewenang-wenang terhadapnya (9). Bukankah engkau telah merasakan betapa pahitnya menjadi yatim?

Adapun peminta, yakni yang membutuhkan sehingga meminta guna menutupi kebutuhannya—baik material maupun selainnya—maka janganlah menghardiknya (10).

Adapun menyangkut nikmat Tuhanmu, maka sampaikan atau sebut-sebutlah (11).*)

*) Penyampaian nikmat/anugerah tersebut tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat material, tetapi mencakup juga yang immaterial, semacam nama baik dan kedudukan yang diperoleh. Ini dianjurkan untuk disebut-sebut selama tidak diikuti oleh rasa keangkuhan dan kebanggaan yang terlarang.

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 6-11

1. Perlindungan bersumber dari Allah SWT, walau sepintas terlihat melalui tangan-tangan manusia.**)
2. Nabi SAW tidak dikenal sebagai seorang kaya. Namun, Allah menganugerahi beliau kecukupan berupa kepuasan hati setelah usaha halal maksimal. Dan itulah kekayaan yang sebenarnya.
3. Yang pertama dan utama yang dituntut terhadap anak-anak yatim adalah bersikap baik dengan menjaga perasaan mereka, bukannya memberi mereka pangan. Menyakiti perasaan anak kecil dapat menimbulkan kompleks kejiwaan yang terbawa hingga dewasa. Dampaknya jauh lebih buruk daripada kekurangan dalam bidang material.
4. Menyebut-nyebut nikmat Tuhan apabila disertai dengan rasa puas sambil menjauhkan rasa angkuh merupakan salah satu bentuk pengejawantahan dari kesyukuran kepada Allah SWT.
5. Tiga tuntunan pada akhir surah ini, diperurutkan sedemikian rupa. Agaknya Allah SWT sengaja mendahulukan arangan berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim dan larangan menghardik siapa pun yang meminta —sengaja mendahulukan kedua petunjuk ini—atas petunjuk yang dikandung oleh ayat 11, yakni menyampaikan/berbicara tentang nikmat Allah, agar dengan demikian Allah mendahulukan hak dan kepentingan anak-anak yatim serta orang-orang yang sangat berhajat atas hak-Nya sendiri, karena keduanya merupakan makhluk dhaif yang mendambakan bantuan, sedang Dia (Allah) adalah Zat yang tidak memerlukan apa pun. Dengan demikian, membantu yang dhaif dan perlu harus didahulukan atas yang kuasa dan mampu.

**) Sejarah menguraikan bahwa ayah Nabi SAW, Abdullah, wafat saat usia beliau dalam kandungan baru dua bulan. Pada usia enam tahun ibu beliau, Aminah, kembali juga ke rahmat Allah sehingga Muhammad saw. dipelihara dan diasuh oleh kakeknnya, Abdul Muththalib. Setelah dua tahun kemudian sang kakek pun meninggal, seterusnya paman beliau, Abu Thalib, tampil sebagai pengasuh sekaligus pelindung utama beliau hingga dewasa, bahkan hingga diangkat menjadi Nabi. Demikian antara lain perlindungan Allah kepada Nabi SAW yang dianugerahkan-Nya melalui manusia.

Demikian, wa Allah A'lam.

Sumber : Detik.com dari Tafsir Al Mishbah

Surah al-Lail

Surah ini dimulai dengan sumpah Allah tentang:

1. Malam apabila menutupi alam keliling dengan kegelapannya (1)

2. Siang apabila terang benderang sehngga menampakkan dengan jelas yang remang dan tersembunyi (2).

3. Penciptaan laki-laki dan perempuan, jantan dan betina (3). Allah bersumpah dengan hal-hal yang bertolak belakang itu untuk menegaskan bahwa sesungguhnya usaha kami wahai manusia sungguh berbeda-beda [4], sebagaimana perbedaan malam dan siang dan lelaki dan perempuan. Ada yang bermanfaat, ada juga yang merusak, ada yang berdampak kebahagiaan dan ada juga kesengsaraan.

Jika demikian itu, keragaman amal perbuatan manusia, maka tentu saja dampaknya pun akan berbeda, Nah, ayat-ayat berikut menjlaskan dampak tersebut, yakni: adapun orang yang memberi dengan ikhlas apa yang dalam genggaman tangan dan kemampuannya serta melakukan aneka kewajiban yang dipikulnya, dan dia bertakwa (5), yakni berupaya menghindari siksa Ilahi dengan melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya serta membenarkan adanya kesudahan yang terbaik (6), antara lain kemenangan, ganjaran, atau surga yang dijanjikan Allah, maka Allah bersama dengan makhluk-makhluk yang Dia tugaskan akan memudahkan baginya jalan kemudahan (7), yakni Allah akan menyiapkan untuknya aneka jalan yang mengantarkannya kepada kemudahan dan ketenangan dengan mengarahkannya kepada jalan kebaikan.

Sedang yang kikir dan merasa dirinya cukup sehingga mengabaikan orang lain atau mengabaikan tuntutan Allah dan Rasul-Nya (8) serta mengingkari keniscayaan Kiamat atau kesudahan yang terbaik [9], maka kelak Allah akan memudahkan baginya jalan menuju kesukaran (10). Jangan duga bahwa hartanya tidak berguna baginya apabila dia telah binasa, yakni setelah meninggalnya nanti.

Pelajaran yang dapat dipetik dari ayat 1-11

1. Manusia dalam hidup ini berbeda perangai, kecenderungan, pandangan dan perhatian. Usahanya bermacam-macam dan berbeda-beda dalam substansi, motivasi dan arahnya, sehingga dampak dan hasilnya pun pasti berbeda-beda.

2. Malam bertingkat-tingkat kepekatan hitamnya, demikian juga siang dengan kejelasannya. Ini mengisyaratkan juga bertingkat-tingkat amalan manusia, yang baik dan yang buruk. Ada yang mencapai puncak -kebaikan atau keburukan- dan ada juga yang belum/tidak mencapainya.

3. Kebaikan pada dasarnya dapat dilakukan dengan mudah, karena sejalan dengan jati diri manusia. Berbeda dengan keburukan, yang ditutup-tutupi dan dikerjakan dengan berpayah-payah menyembunyikannnya. Kebaikan dapat dilakukan dengan santai, bahkan ada kecenderungan untuk menampakannya.

4. Sebelum Allah mempermudah bagi seseorang untuk menelusuri jalan kebahagiaan atau sebaliknya, yang bersangkutan terlebih dahulu harus aktif melakukan sesuatu. Dalam konteks meraih kemudahan, yang bersangkutan harus memberi, bertakwa, serta membenarkan adanya kesudahan terbaik. Sebaliknya, yang memperoleh kesulitan adalah yang kikir dan merasa dirinya cukup serta mendustakan keniscayaan Kiamat.

Setelah ayat-ayat yang lalu menegaskan keragaman kegiatan dan dampak amal manusia, yang mengantarkan kepada kebahagiaan dan kemudahan atau kesengsaraan dan kesulitan, ayat di atas menjelaskan bahwa sebenarnya Allah tidak membiarkan mereka tanpa bimbingannya. Ayat 12 bagaikan menyatakan bahwa Allah mewajibkan atas diri-Nya memberi petunjuk dan penjelasan tentang amal-amal yang berdampak baik dan berdampak buruk. Lebih jauh, ayat 13 menegaskan kuasa-Nya, bahwa hanya Allah yang memiliki akhirat dan dunia serta segala yang berkaitan dengan kehidupan pada kedua alam itu.

Selanjutnya, ayat 14-16 menegaskan peringatan Allah secara langsung dengan menyatakan bahwa: Aku Allah secara langsung memperingatkan kamu wahai para pendurhaka dengan api yang sangat besar yang terus menerus menyala-nyala (14). Tidak ada yang masuk ke dalamnya serta meraskan siksanya lagi kekal di sana kecuali orang yang paling atau lebih celaka dari yang lain (15), yaitu mereka yang mendustakan dan berpaling dari tuntunan.

Setelah menguraikan keadaan yang dapat menimpa para pendurhaka, yaitu kecelakaan dan penyiksaan di neraka, ayat-ayat berikut menguraikan siapa yang terhindar dari kecelakaan dan penyiksaan itu. Ayat 17 dan 18 menyatakan : bahwa akan dijauhkan dari siksa api yang berkobar-kobar itu orang yang bertakwa, yakni yang memelihara dirinya dari kemusyrikan dan kemaksiatan. Dan yang salah satu ciri utamanya adalah menafkahkan hartanya di jalan Allah untuk membersihkan harta tersebut dan mengembangkannya (18).

Dia bernafkah semata-mata karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi (20). Karena itu, ayat 21 yang merupakan penutup surah ini menagaskan bahwa: Pasti kelak dia benar-benar akan puas dengan meraih lebih dari apa yang diidamkannya.

Pelajaran apa yang dapat dipetik dari ayat 12-21

1. Allah SWT memberi hidayah kepada setiap manusia melalui tuntunan para rasul yang diutus-Nya dan akal pikiran serta potensi untuk beramal, yang dianugerahkan-Nya sehingga dengan demikian tidak ada alasan bagi siapa pun yang berakal dan telah menerima informasi keagamaan untuk tidak patuh kepada-Nya.

2. Segala yang berkaitan dengan kehidupan dunia adalah milik Allah. Demikian pula dengan kehidupan akhirat. Dia yang mengendalikan keduanya melakui hukum-hukum yag ditetapkan-Nya berlaku pada masing-masing alam dunia dan akhirat itu. Jika demikian, keliru siapa yang ingin meraih dunia atau akhirat atau keduanya, bila tidak menyesuaikan diri dengan ketetapan serta sistem yang ditetapkan-Nya.

3. Tidak ada yang lebih celaka daripada penghuni neraka, karena kecelakaannya amat besar dan langgeng tidak berakhir, tidak seperti kecelakaan duniawi.

4. Ayat-ayat di atas member kabar gembira kepada siapa pun yang bertakwa yang ciri utamanya adalah memberi tanpa mengharap imbalan dari manusia.

Demikian, wa Allah A'lam.

Sumber : Detik.com dari Tafsir Al-Mishbah

Surah asy-Syams

Surah asy-Syams terdiri dari 15 ayat. Kata asy-Syams, yang berarti "Matahari", diambil dari ayat pertama. Ayat-ayat surah asy-Syams disepakati turun sebelum Nabi berhijrah ke Madinah. Namanya yang dikenal dalam Mushhaf surah asy-Syams.

Imam Bukhari dalam kitab shahîh-nya menamainya surah wa asy-Syams wa Dhuhaha, sesuai bunyi ayat pertamanya. Nama ini lebih baik daripada sekadar menyebut surah asy-Syams karena ada surah lain yang juga menyebut kata asy-syams pada awalnya, yaitu surah at-Takwîr. Tidak ada nama untuknya kecuali yang disebut ini.

Tujuan utama surah ini adalah anjuran untuk melakukan aneka kebajikan dan menghindari keburukan-keburukan. Itu ditekankan dengan aneka sumpah yang menyebut sekian macam hal agar manusia memerhatikannya guna mencapai tujuan tersebut sebab, kalau tidak, mereka terancam mengalami bencana sebagaimana yang dialami oleh generasi terdahulu.

Thabathaba'i menulis bahwa surah ini mengingatkan bahwa kebahagiaan manusia—yang mengenal takwa dan kedurhakaan berdasar pengenalan yang dilakukan Allah kepada-Nya—adalah dengan menyucikan dan mengembangkan dirinya dengan pengembangan yang baik serta menghiasinya dengan ketakwaan dan menghindarkannya dari segala kedurhakaan. Sebaliknya, ketidakberhasilan meraih sukses adalah dengan memendam potensi positif itu. Ini dibuktikan oleh surah ini dengan pengalaman pahit generasi terdahulu.

Sayyid Quthub secara singkat melukiskan surah ini sebagai uraian menyangkut hakikat jiwa manusia serta potensi naluriahnya yang suci, peranan manusia terhadap dirinya, dan tanggung jawabnya menyangkut kesudahan hidupnya. Hakikat tersebut dikaitkan oleh surah ini dengan hakikat-hakikat yang terdapat di alam raya serta kenyataan-kenyataannya, sambil mengemukakan contoh dari kekecewaan yang menimpa mereka yang tidak menyucikan jiwanya.

Al-Biqa'i memahami tema surah ini sebagai bukti tentang kuasa Allah mengendalikan jiwa manusia—yang merupakan matahari jasmaninya—
menuju kebahagiaan atau kesengsaraan, sebagaimana kuasa-Nya mengendalikan matahari bahkan seantero alam raya ini. Namanya, asy-Syams (Matahari), menunjuk tujuan tersebut. Demikian lebih kurang al-Biqa'i

Surah ini dinilai sebagai surah yang ke-26 dari segi urutan turun surah.
Ia turun sesudah al-Qadr dan sebelum surah al-Buruj. Jumlah ayat-ayatnya
menurut perhitungan banyak ulama sebanyak 15 ayat.

Dalam surah yang lalu (al-Balad), ditegaskan bahwa manusia hidup dalam kesulitan sambil menekankan bahwa siapa pun yang menyimpang dari jalan Allah, maka dia akan hidup dalam kesulitan abadi, yakni neraka. Karena itu, pada awal surah ini Allah bersumpah bahwa hal itu demikian berdasar sunnah/ketentuan yang ditetapkan dan berlaku umum bagi siapa pun. Untuk menekankan hal tersebut Allah dalam surah ini bersumpah dengan tujuh fenomena alam:
1.Matahari dan cahayanya di pagi hari.
2.Bulan yang memantulkan cahaya matahari ketika mengiringinya.
3.Siang ketika ia menampakkan dengan jelas keberadaan matahari.
4.Malam ketika menutupi cahaya matahari dengan kegelapan.
5.Langit dengan penciptaan dan peninggiannya yang demikian hebat.
6.Bumi serta penghamparannya yang demikian mengagumkan.
7.Jiwa manusia serta penyempurnaan ciptaannya yang diilhami Allah potensi kedurhakaan dan ketakwaannya.

Setelah bersumpah dengan hal-hal di atas, ayat 9 dan 10 menjelaskan apa yang hendak ditekankan-Nya dengan sumpah-sumpah di atas, yaitu sungguh beruntung meraih segala apa yang diharapkannya siapa yang menyucikan jiwa dan mengembangkan dirinya [9] dan sungguh merugilah siapa yang memendamnya, yakni menyembunyikan kesucian jiwanya [10].

Pelajaran Yang Dapat Ditarik Dari Ayat 1-10

1.Manusia adalah makhluk yang memiliki tabiat, potensi, dan kecenderungan ganda, yakni positif ke arah baik atau negatif ke arah buruk. Jika ingin berbahagia, maka dia harus mengembangkan diri ke arah yang baik. Karena itu, kedurhakaan terjadi akibat ulah manusia sendiri yang enggan menggunakan potensi positifnya.

2.Allah menganugerahi manusia pengetahuan mendasar tentang hal-hal yang bersifat aksiomatik; bermula dengan dorongan naluriah kepada hal-hal yang bermanfaat, seperti keinginan bayi menyusu, dorongan untuk menghindari bahaya, dan lain-lain hingga mencapai tahap awal dari kemampuan meraih pengetahuan yang bersifat akliah. Allah juga menganugerahi manusia potensi untuk mengetahui hal-hal mendasar menyangkut kebaikan dan keburukan.

3.Daya-daya manusia sangat banyak dan dapat terus-menerus dikembangkan, karena itu yang berbahagia adalah yang terus mengembangkan daya-daya itu.

4.Manusia tidak dituntut untuk membunuh dan memendam nafsunya. Karena nafsu pun dibutuhkan dalam hidup ini, seperti nafsu makan, seks, amarah terhadap keburukan. Yang dituntut adalah pengendalian nafsu itu agar mengarah kepada kebaikan dan tidak melampaui batas.

5.Penyucian jiwa adalah upaya sungguh-sungguh agar matahari kalbu manusia tidak mengalami gerhana, dan bulannya selalu memberi penerangan. Ia harus berusaha agar siangnya tidak keruh, dan tidak pula kegelapannya bersinambung. Cara untuk meraih hal tersebut adalah memerhatikan hal-hal spiritual yang serupa dengan hal-hal material yang digunakan Allah bersumpah itu. Hal spiritual yang serupa dengan matahari adalah tuntunan kenabian. Semua yang berkaitan dengan kenabian memiliki cahaya benderang dan kesucian yang mantap.

Ayat yang lalu menegaskan kerugian siapa yang mengotori jiwanya dengan memendam potensi positifnya. Ayat-ayat 11-15 surat ini memberi contoh tentang mereka, yaitu kaum Tsamud yang telah mendustakan rasul mereka, yakni Nabi Shaleh as., karena mereka mengotori jiwanya sehingga melampaui batas [11]. Itu sangat jelas ketika tampil salah seorang di antara mereka yang merupakan orang yang paling celaka di antara mereka untuk mengganggu unta yang dijadikan Allah sebagai mukjizat Nabi Shaleh [12]*). Melihat hal tersebut, Nabi Shaleh as. memperingatkan semua anggota masyarakat kaum Tsamud itu sambil meminta agar mereka membiarkan unta betina itu bebas dan tidak mengganggunya atau mengambil minumannya pada hari yang ditetapkan khusus untuknya [13].

Peringatan Nabi Shaleh as. tidak digubris oleh kaumnya, bahkan mereka mengingkari kenabian beliau. Lalu, mereka menyembelih unta itu maka mereka dibinasakan Allah dengan suara menggelegar atau dengan menjungkirbalikkan tanah tempat mereka berpijak disebabkan dosa mereka, sehingga Dia Yang Mahakuasa itu meratakan mereka dengan tanah [14]. Surah ini ditutup oleh ayat 15 yang menyatakan bahwa Allah swt. sama sekali tidak takut, yakni peduli apapun, akibat penyiksaan itu [15].**)

*) Kaum Tsamud terkenal dengan kemahiran mereka dalam memahat. Nabi Shaleh as. menunjukkan bukti kenabiannya dengan “memahat” sebuah batu karang yang menjelma—atas izin Allah—menjadi seekor unta betina yang benar-benar hidup. Mereka melihatnya minum dan mereka juga dapat meminum susu unta itu. Allah memerintahkan mereka untuk tidak mengganggu unta tersebut, tetapi kaum Tsamud bukan saja mengganggunya, tapi menyembelihnya sehingga jatuhlah sanksi Allah terhadap mereka.

**)Firman-Nya: Allah tidak takut apa pun akibat penyiksaan itu, merupakan tamsil. Tidak jarang seseorang merasa takut dan berhati-hati bahkan boleh jadi merasa gentar bila ada dendam yang mengundang pembalasan dari keluarga siapa yang pernah dia siksa. Ayat di atas menyatakan bahwa hal seperti itu
tidaklah menyentuh Allah swt. Allah bukan seperti manusia yang tidak jarang mempertimbangkan sanksi yang akan dijatuhkan karena mengkhawatirkan dampak buruk sanksinya.

Pelajaran Yang Dapat Ditarik Dari Ayat 11-15

1.Mukjizat, yakni bukti kebenaran rasul Allah, disesuaikan Tuhan dengan bidang kemahiran masyarakat yang ditemuinya. Kaum Nabi Shaleh mahir dalam seni pahat, maka ditampilkan unta yang benar-benar hidup yang lahir dari sebuah batu karang.

2.Siapa yang menyetujui satu perbuatan, maka persetujuannya itu sudah dapat menjadikan dia salah satu dari mereka yang terlibat dalam perbuatan itu.

3.Masyarakat akan mengalami akibat buruk dari apa yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok dari anggotanya bila mereka menyetujui perbuatan orang atau kelompok itu. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang terikat oleh pandangan yang sama.

Demikian, wa Allâh A‘lam.

Sumber : Detik.com dari Tafsir Al-Mishbah

Surah al-Fajr


Surah al-Fajr terdiri dari 30 ayat. Kata al-Fajr, yang berarti "Fajar",diambil dari ayat pertama.Ayat-ayat surah ini disepakati turun sebelum Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah. Namanya adalah al-Fajr, tanpa wauw, sedikit berbeda dengan bunyi ayatnya yang pertama. Penamaan ini disepakati juga oleh para penulis mushhaf, para perawi hadis, dan para pakar tafsir. Tidak ada nama lain bagi kumpulan ayat-ayat ini kecuali nama tersebut.

Uraian utama surah ini adalah ancaman kepada kaum musyrikin Mekkah jangan sampai mengalami siksa yang telah dialami oleh para pendurhaka yang jauh lebih perkasa daripada mereka, sekaligus berita gembira serta pengukuhan hati Nabi SAW dan kaum muslimin yang pada masa turunnya ayat-ayat surah ini masih tertindas oleh kaum musyrikin Mekkah. Surah ini juga—sebagaimana dikemukakan Thabathaba'i—merupakan celaan kepada mereka yang memiliki ketergantungan sangat besar terhadap dunia sehingga menghasilkan kesewenangan dan kekufuran.

Tema surah ini, menurut al-Biqa'i, adalah pembuktian tentang uraian akhir surah al-Ghasyiyah, yakni kematian, serta hisab (pertanggungjawaban) manusia atas amal-amalnya. Bukti tentang tema utama surah ini diisyaratkan oleh namanya al-Fajr, yakni terpancar saat subuh guna melahirkan siang yang kemarin telah berlalu tanpa perubahan zatnya, demikian juga kebangkitan manusia dari kematian kecil, yakni tidur, dengan tersebarnya cahaya siang agar manusia mencari sarana kehidupan untuk kemudian mengalami hisâb yang menghasilkan ganjaran atau balasan. Demikian al-Biqa'i.

Surah ini merupakan wahyu yang ke-10 yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW, Ia turun sebelum surah adh-Dhuha dan sesudah surah al-Fil. Ayat-ayatnya berjumlah 30 ayat menurut cara perhitungan ulama Kufah dan Syam, dan 32 ayat menurut cara perhitungan ulama Mekkah dan Madinah karena ayat 15 mereka jadikan dua ayat yakni awalnya sampai kata wana'ammahu satu ayat, dan selebihnya satu ayat lagi sampai dengan akraman. Demikian juga ayat 16 mereka jadikan dua ayat, yang pertama sampai kata rizqahu lalu lanjutannya ayat berdiri sendiri sampai dengan ahanan.

Akhir ayat pada surah yang lalu menegaskan tentang keniscayaan kematian dan kembalinya manusia kepada Allah untuk menjalani perhitungan dan memperoleh balasan dan ganjaran. Pergantian malam dan siang dan kemunculan serta kelahiran fajar sebagaimana terlihat setiap hari—setelah kepergiannya atau "kematiannya" kemarin—membuktikan kuasa Allah SWT dalam membangkitkan siapa yang telah mati.

Dalam konteks pembuktian itulah Allah pada awal ayat-ayat surah ini bersumpah dengan lima fenomena alam yang terlihat sehari-hari, yaitu:
1.Fajar yakni cahaya pagi ketika mulai mengusik kegelapan malam.
2.Malam-malam sepuluh pada setiap bulan ketika cahaya bulan mengusik kegelapan malam.
3.Yang genap, dan
4.Yang ganjil dari malam-malam hari atau apa saja.
5.Malam secara umum bila berlalu.
Dengan menyebut kelima hal tersebut Allah menekankan pada ayat 5 bahwa benar-benar pada yang demikian itu terdapat sumpah yang mestinya mengantar siapa yang berakal untuk menerima dan meyakini apa yang disampaikan Allah melalui rasul-Nya, yaitu keniscayaan Hari Kiamat.

Setelah ayat-ayat yang lalu menyebut sekian banyak fenomena alam guna menunjuk kuasa-Nya membangkitkan manusia sekaligus kuasa-Nya untuk menjatuhkan sanksi bagi para pendurhaka, ayat 6 bertanya dengan maksud agar
dipikirkan bagaimana perlakuan Allah menjatuhkan sanksi terhadap umat terdahulu yang membangkang perintah-Nya.

Tiga umat yang disebut oleh surah ini untuk diperhatikan bagaimana perlakuan Allah terhadap mereka adalah:
1.Umat Nabi Hud, yaitu kaum ‘Ad, yang sangat mahir dalam bangunan, sehingga dilukiskan kotanya yang bernama Iram, oleh ayat 7 dan 8 sebagai kota yang memunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun sebuah kota seperti itu sebelumnya di negeri lain, atau mereka dilukiskan sebagai sangat kuat dan Allah belum pernah menciptakan penduduk sekuat mereka di tempat-tempat lain.
2.Umat kaum Nabi Shaleh, yaitu Tsamud, yang demikian mahir dalam seni pahat, sehingga mereka mampu memotong batu-batu besar di lembah guna dijadikannya istana-istana tempat tinggal dan memahatnya sehingga menghasilkan relief-relief di dinding-dinding istana/ kediaman mereka [9].
3.Kaum Firaun yang memunyai pasak-pasak, yakni piramid-piramid yang terdiri dari batu-batu yang tersusun rapi dan kokoh tertancap di bumi, juga tentara-tentara yang dijadikannya bagaikan pasak guna mengukuhkan kekuasaannya [10].

Ketiga kaum itu, menurut ayat 11 dan 12, melampaui batas dalam negeri tempat tinggal mereka, sehingga di sana banyak terjadi kerusakan. Ayat 13 menjelaskan dampak buruk dari kesewenangan mereka itu, yakni Allah menuangkan dengan deras dan keras kepada mereka cemeti siksa. Ayat 14 menjelaskan bahwa sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Mengawasi.

Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 1-14

1.Hidup adalah pergantian malam dan siang. Allah kuasa menerbitkan fajar yang menghapus kegelapan, mendatangkan terang di malam-malam gelap, dan tentu saja menghidupkan yang mati. Karena itu, jangan berputus asa dan bersiaplah menghadapi hari esok.
2.Al-Qur’an menginformasikan peristiwa masa lalu yang tidak diketahui orang pada masa turunnya, tetapi terbukti kemudian kebenarannya.*)
3.Kehancuran masyarakat bukan disebabkan karena keterbelakangan dalam bidang pembangunan, atau seni dan teknologi. Karena jika demikian, kaum ‘Ad, Tsamud, dan Firaun yang unggul pada masanya dalam bidang-bidang tersebut tidak dihancurkan Allah. Kehancuran masyarakat adalah akibat kedurhakaan dan kesewenang-wenangan.
4.Penindasan dan kesewenangan penguasa melahirkan kebejatan masyarakat dan kerusakan Negara karena yang demikian itu melahirkan kebencian dan kecurigaan yang memperlemah sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

*) Pada tahun 1964-1969 dilakukan penggalian arkeologi, dan dari hasil-hasil analisis pada tahun 1980 ditemukan informasi dari salah satu lempeng tentang adanya kota yang bernama Shamutu, ‘Ad, dan Iram. Bukti arkeologi lain tentang kota Iram adalah berkat jasa pesawat ulang alik Challenger dan jasa satelit Perancis yang menemukan citra digital berupa garis putih pucat yang menandai beratus-ratus kilometer rute kafilah yang ditinggalkan.

Sebagian berada di bawah tumpukan pasir yang telah menimbun selama berabad-abad hingga mencapai ketinggian seratus delapan puluh tiga meter. Berdasarkan data ini, Nicholas Clapp dan rekan-rekannya meneliti tanah tersebut dan melakukan pencarian. Pada bulan Februari 1992 mereka menemukan bangunan segi delapan dengan dinding-dinding dan menara-menara yang tinggi mencapai sekitar sembilan meter. Agaknya itulah yang dimaksud oleh ayat 7 di atas: "Iram yang memunyai bangunan-bangunan yang tinggi."

Setelah mengingatkan jatuhnya siksa atas para pendurhaka sekaligus memperingatkan tentang pengawasan-Nya, ayat-ayat berikut mengecam manusia yang tidak menyadari hal tersebut. Ayat 15 bagaikan menyatakan: Demikianlah adat kebisaan dan peradaban yang dibangun oleh ketiga masyarakat itu, dan demikian juga kebiasaan Allah dalam perlakuan-Nya kepada para pendurhaka.

Sebenarnya Allah tidak menghendaki dari manusia kecuali ketaatan yang bermanfaat buat mereka dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Adapun manusia yang durhaka, maka apabila dia diuji oleh Tuhannya, lalu dia dimuliakan dan diberi nikmat seperti harta, kehormatan, dan kekuatan, maka dia senantiasa berkata dengan bangga—tanpa sadar bahwa itu ujian—bahwa: "Tuhanku telah memuliakanku karena aku memang wajar dimuliakan, sebab Tuhan mencintaiku."

Sebaliknya, menurut ayat 16, bila Tuhannya mengujinya, lalu membatasi rezekinya atau menimpakan kepadanya aneka kekurangan, seperti penyakit atau hilangnya yang dikasihi, maka dia berkata dengan kesal menggerutu sambil melalaikan tuntunan agama bahwa: "Tuhanku telah menghinakanku."

Ayat 17 menyanggah ucapan dan dugaan itu: Sekali-kali tidak demikian! Atau berhentilah berucap demikian! Karena kemuliaan berpangkal dari kebajikan dan ketaatan, sedang kehinaan adalah karena kedurhakaan kepada Allah! Selanjutnya, ayat 18 menegaskan bahwa: Sebenarnya kamu wahai yang diluaskan rezekinya oleh Allah tidak memuliakan anak yatim [17] padahal Allah—menurut pendapatmu—telah memuliakan kamu sebagaimana pengakuanmu sendiri.

Lebih lanjut, ayat 18 menyatakan bahwa lebih dari itu, kamu bahkan tidak saling menganjurkan memberi pangan orang miskin—apalagi memberi mereka pangan—padahal kamu memiliki kelebihan yang melimpah; dan kamu senantiasa mengambil dan menggunakan untuk kepentingan diri kamu, harta pusaka dengan cara menghimpun yakni yang halal bersama yang haram [19], juga kamu terus-menerus mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan [20], yakni disertai dengan ketamakan. Itu semua akibat perhatian yang berlebihan terhadap gemerlap duniawi, padahal mestinya manusia menggunakannya untuk meraih kenikmatan ukhrawi.

Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 15-20

1.Jangan menduga ujian—yakni kenikmatan dan harta benda atau kepedihan dan keterbatasan harta—sebagai bukti cinta atau murka Allah. Tidak! Itu adalah ujian dan hasil ujian tidak diumumkan dalam kehidupan dunia ini. Penilaian akhir baru disampaikan kelak di Hari Kemudian.
2.Jika tidak dapat memberi sesuatu yang bermanfaat, maka paling tidak tampillah menganjurkan pihak lain untuk memberi.
3.Yang dikecam adalah yang mencintai harta secara berlebihan, karena ini mengantar kepada pengabaian selainnya, sehingg bila yang bersangkutan dihadapkan pada dua pilihan, walau salah satunya adalah nilai-nilai agama, maka yang mencintai harta secara berlebihan pasti akan memilih harta dan materi.
4.Melupakan Allah ketika bergelimang nikmat atau menggerutu ketika dalam kekurangan bukanlah sifat seorang Mukmin.

Sikap manusia durhaka terhadap dunia secara umum dan harta benda secara khusus, seperti yang digambarkan oleh ayat-ayat yang lalu dikecam oleh ayat-ayat di atas. Mereka menduga itulah jalan kebahagiaan. Ayat 21 di atas menafikan dugaan tersebut dengan menyatakan: Wahai manusia, tidak demikian! Atau ayat itu memperingatkan mereka bahwa: Jangan berbuat demikian, karena yang demikian dapat mencelakakan kamu. Lalu mereka diingatkan tentang masa yang pasti bagi kecelakaan mereka, yaitu bila bumi dengan mudah dihantamkan berturut-turut dengan hantaman yang besar sehingga meluluhkan segala sesuatu.

Ayat 22 menyatakan bahwa ketika itu juga datanglah Tuhanmu—wahai Nabi Muhammad atau wahai manusia— dalam bentuk yang sesuai dengan keagungan dan kesucian-Nya, atau hadirlah ketetapan-Nya, serta tampaklah dengan jelas kuasa dan keagungan-Nya. Sedang para malaikat berbaris-baris sesuai dengan kedudukan dan tugas-tugasnya.

Selanjutnya, ayat 23 menyatakan bahwa pada hari itu diperlihatkanlah neraka Jahanam dengan aneka kengerian dan siksanya. Dan pada ketika itu juga sadarlah manusia tentang apa yang telah dilalaikannya; tetapi kesadaran itu,tidak lagi berguna karena saat itu adalah saat menuai, sedang saat menanam telah berlalu.

Ayat 24 melukiskan penyesalan yang tidak berguna. Ketika itu, manusia yang lalai itu dari saat ke saat selalu mengatakan dengan penuh penyesalan: “Seandainya aku dahulu melakukan kegiatan yang berguna untuk hidupku, tentulah...” Ayat 24 ini tidak menyebut apa yang tentu itu, karena perandaian apa pun tidak ada gunanya lagi. Ayat 25 mengingatkan betapa pedih siksa Allah ketika itu. Tidak terbayang dalam benak siapa pun ada yang menyiksa seperti siksa-Nya, dan tiada satu pun yang dibelenggu seperti belenggu-Nya, yang dilakukan oleh malaikat atas perintah-Nya.

Selanjutnya, kalau ayat yang lalu menguraikan penyesalan manusia durhaka, serta ucapan penyesalan mereka, maka ayat 27-30 menggambarkan sambutan Allah kepada yang taat. Allah berfirman menyerunya ketika ruhnya akan meninggalkan badannya atau ketika dia bangkit dari kuburnya: “Wahai jiwa yang tenang lagi merasa aman dan tenteram karena banyak berzikir dan mengingat Allah! Kembalilah, yakni wafat dan bangkitlah di Hari Kemudian menuju kepada Tuhan Pemelihara dan Pembimbingmu dengan hati rela, yakni puas dengan ganjaran Ilahi lagi diridhai oleh Allah, bahkan oleh seluruh makhluk, maka karena itu masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku yang taat lagi memperoleh kehormatan dari-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku yang telah Ku-persiapkan bagi siapa
yang taat kepada-Ku.

Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 21-30

1.Sumber kebahagiaan bukanlah harta, dan hidup yang sebenarnya adalah hidup di akhirat. Karena itu yang menyesal di Hari Kemudian akan menyadari bahwa apa yang dilakukannya selama berada di dunia bukanlah untuk kehidupannya.
2.Pada Hari Kiamat, keagungan dan kebesaran Allah akan hadir dan terlihat dengan amat jelas; malaikat-malaikat juga terlihat berbaris bershaf-shaf dan neraka didekatkan serta ia terlihat juga, khususnya oleh para pendurhaka.
3.Mereka yang taat, saat kematian atau ketika bangkit dari kuburnya, akan merasa tenang bertemu dengan Allah dan disambut oleh-Nya dengan sapaan mesra, lalu dipersilakan masuk ke surga. Itu disebabkan jiwa mereka tenang karena ketika mereka hidup di dunia, mereka banyak mengingat Allah swt.

Demikian, Wa Allâh A‘lam.

Sumber : Detik.com dari Tafsir Al-Mishbah

Surah al-Buruj

Ayat-ayat surah ini secara keseluruhan turun sebelum Nabi berhijrah. Demikian kesepakatan ulama. Ada beberapa nama yang disandangnya. Antara lain surah as-Sama' Dzat al-Buruj, demikian ia dinamai oleh Abu Hurairah yang mengabarkan bahwa Rasul SAW membacanya pada shalat 'Isya (HR. Ahmad). Nama lainnya yang lebih populer karena tertulis dalam aneka Mushhaf al-Qur'an adalah surah al-Buruj (Gugusan Bintang).

Tema utamanya adalah uraian tentang kekuasaan Allah serta ancaman kepada mereka yang menganiaya kaum beriman karena keimanan mereka. Al-Biqa'i menulis bahwa tujuan utama surah ini adalah pembuktian tentang kuasa Allah mewujudkan tujuan dari al-Insyiqaq(keterbelahan langit), yakni Hari Kiamat. Tujuannya adalah memberi balasan serta ganjaran dan ini tecermin pada uraian akhir surah ini.

Menurut Sayyid Quthub, surah yang pendek ini memaparkan hakikat akidah serta dasar-dasar bagi penghayatan iman. Ia memaparkan persoalan-persoalan sangat agung yang bersinar darinya aneka cahaya yang sangat kuat lagi terpancar serta sangat jauh di balik makna dan hakikat-hakikat yang diungkapkan oleh redaksinya hingga hampir-hampir setiap ayat—bahkan terkadang setiap kata pada satu ayat—membuka suatu pintu hakikat menuju alam yang sangat luas.

Surah ini dinilai sebagai surah yang ke-27 dalam perurutan turunnya surah-surah al-Qur'an. Ia turun sesudah surah wa asy-Syams wa Dhuhaha dan sebelum surah at-Tin. Jumlah ayat-ayatnya 23 ayat.

Surah yang lalu diakhiri dengan uraian tentang ganjaran yang akan diterima oleh orang-orang beriman serta balasan terhadap orang-orang kafir, setelah sebelumnya menegaskan pengetahuan Allah tentang isi hati para pendurhaka, termasuk rencana-rencana buruk mereka terhadap Nabi Muhammd saw. Pada surah ini Allah menguraikan pengalaman umat yang lalu yang dianiaya oleh orang-orang kafir, namun Allah membalas mereka.

Berita tentang pembalasan itu ditekankan Allah dengan bersumpah menyangkut empat hal:
1.Langit yang memunyai gugusan atau bintang-bintang itu sendiri yang demikian besar bagaikan istana-istana di langit (1).
2.Hari yang dijanjikan, yakni Hari Pembalasan (2).
3.Yang menyaksikan peristiwa yang dahsyat, yakni Hari Pembalasan atau saat penganiayaan yang dialami oleh orang-orang yang beriman (3).
4.Peristiwa dahsyat/kejam yang disaksikan (3).

Demi hal-hal agung dan dahsyat itu Allah berjanji bahwa Dia pasti akan memberi balasan kepada semua yang menganiaya orang-orang beriman, sebagaimana yang telah dilakukan-Nya terhadap para pendurhaka masa lampau, dan demi hal-hal yang disebut itu pasti juga semua manusia akan dibangkitkan untuk memper tanggungjawabkan amal-amal mereka.

Setelah bersumpah dengan hal-hal di atas disebutlah salah satu contoh penyiksaan yang terjadi atas sekelompok orang beriman. Mereka itu tersiksa/dibunuh di parit-parit yang sengaja dibuat untuk tujuan penyiksaan. Ayat 4 menyatakan bahwa: Terkutuk dan binasalah mereka yang terlibat secara langsung atau tidak dalam pembuatan parit*) dan penyiksaan orang-orang beriman. Parit itu—menurut ayat 5—berupa api yang sangat besar kobarannya karena ia memiliki banyak sekali bahan bakar yang disiapkan untuk tujuan penyiksaan. Selanjutnya, ayat 6 dan 7 menggambarkan awal jatuhnya kutukan dan kebinasaan itu, yakni ketika mereka duduk di sekitar api dan ketika itu juga mereka merupakan saksi-saksi mata yang menyaksikan secara langsung serta merestui penyiksaan yang dilakukan secara sadar terhadap orang-orang beriman.

Sebenarnya tidak ada alasan penyiksaan itu. Penyiksaan itu tidak dilakukan akibat kesalahan atau perbuatan buruk orang-orang beriman, tidak juga sebagai balas dendam atas perlakuan jahat, atau karena ingin merampas harta benda mereka. Penyiksaan itu—menurut ayat 8—tidak lain kecuali karena mereka senantiasa beriman serta memperbarui dan meningkatkan keimanan mereka kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Allah yang memang wajar diandalkan karena hanya Dia—seperti penjelasan ayat 9—yang memiliki dan mengendalikan kerajaan langit dan bumi dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.

*)Banyak ulama menyatakan bahwa yang disiksa dalam parit yang dipenuhi kobaran api adalah sekelompok kaum beriman pemeluk agama Nasrani yang hidup di wilayah Najran; suatu lembah di perbatasan antara Saudi Arabia dan Yaman. Peristiwa itu terjadi sekitar 523 M, pada masa kekuasaan Dzu Nuwas. Riwayat lain menyatakan bahwa mereka adalah penduduk Habasyah (Ethiopia). Siapa pun mereka, yang jelas penguasa masa mereka melakukan penyiksaan dengan melempar mereka ke dalam parit berkobar, karena mereka enggan murtad dari keimanan mereka.

PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK DARI AYAT 1-9

1.Sumpah Allah dengan gugusan bintang bertujuan untuk dijadikan bahan renungan tentang kuasa-Nya, bukan untuk dijadikan pertanda nasib seseorang. Bintang-bintang juga diciptakan-Nya untuk menjadi petunjuk arah dan agar dinikmati sebagai hiasan langit.
2.Yang beriman bersedia mengorbankan segala sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan keyakinannya.
3.Penyebutan sifat Allah "Maha Perkasa", "Maha Terpuji" dan "Maha Menyaksikan segala sesuatu", mengisyaratkan bahwa perlakuan terhadap para tersiksa itu benar-benar tidak wajar, bahkan mestinya mereka dipuji dan diagungkan karena menyembah Allah yang sifat-Nya sebagaimana yang tadi disebutkan.
4.Penyiksaan yang dialami oleh hamba-hamba Allah, bukan berarti Allah lemah dan membiarkan mereka tanpa pembelaan. Tidak! Allah Maha Perkasa, Dia tidak terkalahkan oleh siapa pun, dan Dia mengalahkan siapa pun. Dia kuasa menjatuhkan siksa—pada waktunya—kepada para penganiaya. Dia Maha Terpuji, sehingga akan memberi ganjaran kepada mereka yang mengesakan-Nya dan mengabdi kepada-Nya, lebih-lebih yang memikul derita akibat keimanannya. Betapa tidak demikian padahal Dia adalah Penguasa langit dan bumi.

Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan kuasa Allah yang tidak tertandingi, kini uraian mengarah kepada kaum musyrik Mekkah, bahkan siapa pun yang menganiaya kaum Muslim, kapan dan di mana pun.

Ayat 10 menegaskan bahwa: Sesungguhnya orang-orang yang menyiksa fisik atau mental dan memperlakukan sewenang-wenang dalam bentuk apa pun orang-orang yang Mukmin laki-laki atau orang Mukmin perempuan kemudian mereka tidak menyesali kesalahan mereka dan tidak bertaubat atas kekufuran dan dosa-dosa mereka, maka bagi mereka siksa Jahannam atas kekufuran mereka dan bagi mereka siksa pembakaran di neraka atas penganiayaan mereka.

Selanjutnya, ayat 11 menekankan bahwa: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan benar dan membuktikan kebenaran iman mereka dengan mengerjakan amal-amal yang saleh, bagi mereka surga yang mengalir di bawah istana-istananya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar. Jangan duga siksa Allah serupa dengan siksa makhluk. Dia Maha Perkasa, sekaligus Mahakuasa. Itulah pesan yang disampaikan oleh ayat-ayat berikut.

Ayat 12 dan 13 mengingatkan bahwa: Sesungguhnya siksa Tuhan terhadap para pembangkang benar-benar keras. Dia-lah sendiri yang menciptakan semua makhluk sejak permulaan dan menghidupkan mereka kembali atas kehendak-Nya setelah makhluk itu dia matikan. Dia juga kuasa menjatuhkan sanksi sejak di dunia dan juga dapat ditangguhkannya ke akhirat.

Selanjutnya, agar peringatan tersebut tidak mengundang keputusasaan atau kesan bahwa Allah kejam dan berlaku sewenang-wenang, maka ayat 14 hingga 15 menyatakan bahwa: Dialah Yang Maha Pengampun terhadap siapa yang memohon ampunan-Nya lagi Maha Mencintai dan Dicintai oleh hamba-hamba-Nya yang beriman. Dialah Pemilik ‘Arasy lagi Dia Mahamulia.

Selanjutnya, ayat 16 mengingatkan bahwa Dialah Maha Pelaksana terhadap apa yang dikehendaki-Nya, yakni berulang- ulang melakukan apa yang disebutkan tadi—dan selainnya—tanpa sekalipun gagal melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya.

Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 10-16

1.Allah tidak akan membiarkan kesewenang-wenangan. Memang Dia bisa menangguhkan pembalasan, tetapi tidak pernah membiarkannya berlalu tanpa perhitungan.
2.Penganiayaan terhadap kaum beriman, dapat berlanjut hingga dewasa ini, yang dilakukan antara lain oleh sementara penguasa terhadap mereka yang bermaksud menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan, melaksanakan amar ma‘ruf dan nahi munkar. Penganiaya dewasa ini dan masa datang tercakup dalam ancaman ayat ini, apa pun bentuk penganiayaan mereka, baik berupa penyiksaan fisik, penahanan, atau pencabutan hak-hak asasi mereka.
3.Tidak ada yang dapat menghalangi kehendak Allah; tidak dari diri-Nya, seperti malas, jemu, ragu, atau perubahan kehendak, dan lain-lain; dan tidak juga dari luar/makhluk apa dan siapa pun yang dari luar itu.

Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan sifat-sifat Allah yang dapat menggugah hati siapa pun yang hendak mendekat kepada-Nya, sekaligus memerindingkan hati mereka yang menyadari kuasa dan siksa-Nya, kini ayat-ayat di atas mengingatkan perlakuan-Nya terhadap tokoh-tokoh pembangkang masa lampau. Ayat 17 mengajukan pertanyaan yang bertujuan mengingatkan, yakni firman-Nya: Sudahkah datang kepadamu—siapa pun engkau—berita, yakni akibat buruk yang dialami oleh pasukan tentara yang demikian banyak dan kuat yang dipimpin oleh Firaun, Penguasa Mesir pada masa Nabi Musa as.?

Demikian juga berita dan ke sudahan kaum Tsamud, yakni umat Nabi Shaleh as. Yang demikian kuat sehingga mampu memotong batu-batu besar di lembah? Firaun beserta pasukannya dimusnahkan Allah di Laut Merah—walau diselamatkan jasadnya—sedang Tsamud dibinasakan dengan gempa yang meluluh-lantakkan mereka.

Selanjutnya, ayat-ayat berikut melanjutkan uraiannya tentang kaum musyrik dan sikap mereka terhadap Nabi saw. dan ajaran al-Qur'an. Ayat 19 dan 20 bagaikan berkata: Wahai Nabi Muhammad, kaum musyrik Mekkah lebih hebat pendustaannya dari kaum Tsamud dan Firaun, karena mereka telah mengetahui akibat buruk pengingkaran ajaran Ilahi dan sanksi yang telah dijatuhkan, tetapi mereka masih tetap menolak.

Mereka juga telah diberi petunjuk al-Qur'an yang sangat jelas pembuktiannya, namun mereka melecehkannya, bahkan seluruh totalitas orang-orang kafir berada dalam wadah pengingkaran, padahal Allah telah mengepung mereka. Allah Maha Meliputi mereka dari belakang dan depan, yakni di seluruh penjuru di mana pun mereka berusaha.

Menanggapi sikap mereka terhadap al-Qur’an, yang antara lain menyatakan bahwa ia (al-Qur'an) adalah dongeng, sihir, atau kebohongan, maka ayat 21 dan 22 menafikannya dengan manyatakan bahwa itu sama sekali tidak benar, bahkan ia yakni al-Qur'an ini sangat mulia lagi terpelihara di Lauh al-Mahfuzh*) sehingga tidak mungkin akan mengalami perubahan, penambahan, atau pergantian.

*)Lauh al-Mahfuzh adalah istilah yang digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan
ilmu Tuhan yang mencakup segala sesuatu. Ilmu-Nya diibaratkan dengan sesuatu Lauh, yakni halaman tempat menulis. Lauh itu terpelihara dalam arti rapi sehingga tidak dapat salah, hilang, terlupakan, atau terganti dengan yang lain.

Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 17-22

1.Yang telah diberi peringatan, apalagi yang telah mengetahui dampak buruk dari sesuatu tetapi tetap melakukannya, jauh lebih buruk daripada mereka yang melakukan hal tersebut sebelum mengetahui akibat dan dampak buruknya.
2.Al-Qur’an dipelihara oleh Allah dari perubahan, pergantian, dan kehilangan. Kitab suci itu menyandang sifat majîd/mulia, karena ia merupakan kalam Ilahi yang telah mencapai puncak sehingga tidak akan ada kalimat yang lebih berkesan daripada al-Qur’an dan tidak juga ditemukan petunjuk yang lebih baik dan sempurna daripada petunjuknya.

Demikian, Wa Allah A'lam.

Sumber : Detik.com dari Tafsir Al-Mishbah

Surah 'Abasa

Surah ini disepakati sebagai surah Makkiyyah. Namanya yang paling populer adalah surah 'Abasa (cemberut). Ada juga yang menamainya surah ash-Shakhkhah (yang memekakan telinga), surah as-Safarah (para penulis kalam Ilahi), dan surah al-A'ma (sang tunanetra) yang kesemuanya diambil dari kata-kata yang terdapat dalam surah ini. Pakar tafsir, Ibn al-'Arabi, dalam bukunya Ahkam al-Qur'an menamainya surah Ibn Ummi Maktum karena awal surah ini turun berkenaan dengan kasus sahabat Nabi yang buta itu sebagaimana akan Anda baca.

Tema utamanya, menurut Ibn 'Asyur, adalah pengajaran kepada Nabi Muhammad SAW membandingkan peringkat-peringkat kepentingan agar tidak mendahulukan sesuatu yang pada mulanya penting atas yang lain yang sama dengannya atau lebih penting darinya sambil mengisyaratkan perbedaan keadaan kaum musyrikin yang berpaling dari petunjuk Islam dengan kaum muslimin yang memberi perhatian besar terhadap ajaran Islam.

Menurut al-Biqa'i—tokoh yang selalu berusaha menunjukkan keserasian hubungan ayat-ayat al-Qur'an—tema dan tujuan utama surah ini adalah penjelasan tentang kandungan ayat 45 surah yang lalu yaitu: "Engkau hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya, yakni kepada Hari Kiamat."

Penjelasan itu adalah bahwa tujuan utamanya adalah memberi peringatan bagi siapa yang memiliki potensi (dan bermaksud) untuk takut kepada Allah melalui peringatan tentang Hari Kiamat yang telah terbukti keniscayaannya dengan kuasa-Nya menciptakan manusia pertama kali serta penciptaan awal dan pengulangannya menyangkut makanan. Namanya 'Abasa (bermuka masam) menunjukkan tujuan tersebut dengan memerhatikan ayat-ayatnya serta tujuannya. Demikian juga dengan namanya yang lain yaitu ash-Shakhkhah dan al-Bakhkhah yang menggambarkan tersemburnya api dan keburukan.

Thabathaba'i berpendapat bahwa surah ini merupakan kecaman kepada siapa yang memberi perhatian kepada orang-orang kaya yang bermewah-mewah dengan mengabaikan orang-orang lemah dan miskin dari kaum beriman. Thabathaba'i mengemukakan riwayat yang berbeda dengan riwayat populer di kalangan kelompok Ahl as-Sunnah yang mengatakan bahwa ayat ini turun sebagai teguran kepada Nabi Muhammad SAW yang bermuka masam terhadap 'Abdullah Ibn Ummi Maktum yang tunanetra.

Ulama beraliran Syi'ah itu mengemukakan riwayat dari sumber Syi'ah yang menyatakan bahwa yang bermuka masam bukanlah Nabi Muhammad SAW, tetapi salah seorang selain beliau. Surah ini dinilai sebagai surah yang ke-24 dari segi perurutan turunnya kepada Nabi saw. Ia turun sesudah surah an-Najm dan sebelum surah al-Qadr. Jumlah ayat-ayatnya menurut cara perhitungan ulama Mekkah, Madinah, Kufah adalah 42 ayat, sedang menurut cara perhitungan ulama Bashrah 41 ayat.

Surah ini merupakan awal dari surah-surah al-Mufashshal yang pertengahan jumlah ayat-ayatnya. Sedang, surah al-Hujurât sampai dengan an-Nazi'at adalah awal surah al-Mufashshal yang jumlah ayat-ayatnya dinilai banyak.

Rangkaian ayat-ayat ini turun berkaitan dengan kedatangan seorang tunanetra kepada Nabi Muhammad SAW yang meminta agar beliau mengajarnya. Nabi SAW ketika kedatangannya itu sedang menjelaskan ajaran Islam kepada tokoh-tokoh masyarakat Makkah dengan harapan ajakan beliau dapat menyentuh hati dan pikiran mereka, dan ini tentu saja akan membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah Islam.

Nah, kedatangan sang tunanetra saat itu sungguh mengganggu sehingga beliau tidak menyambutnya, bahkan bermuka masam. Allah dalam ayat 3 dan 4 mengarahkan pembicaraan langsung kepada Nabi SAW dengan berfirman: Apakah yang menjadikanmu mengetahui? Yakni engkau tidak dapat mengetahui isi hati seseorang. Boleh jadi dia, sang tunanetra, itu ingin membersihkan diri dan mengukuhkan imannya atau dia ingin mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu walau tidak dalam bentuk yang mantap.

Ayat-ayat berikutnya melanjutkan teguran-Nya dengan menyatakan bahwa: Adapun orang yang merasa tidak butuh kepadamu karena memiliki harta, anak, atau kedudukan maka engkau melayaninya dan menjelaskan secara sungguh-sungguh ajaran Islam. Engkau berbuat demikian, lanjut ayat 7, padahal tiada (celaan) atasmu, kalau dia tidak membersihkan diri dan memeluk Islam. Ayat 8 s/d 10 melanjutkan bahwa sedang siapa yang datang kepadamu dengan bersegera dan dalam keadaan takut—yakni sang tunanetra itu—maka engkau mengabaikannya.

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 1-10

1. Ayat-ayat tadi menunjukkan betapa jujur Nabi Muhammad saw. dalam menyampaikan wahyu Al Qur'an sehingga teguran terhadap diri beliau pun tidak disembunyikannya.

2. Kendati sikap Nabi Muhammad saw. dalam kasus yang dibenarkan ayat-ayat ini menurut ukuran manusia terhormat adalah sangat wajar dan baik, tetapi karena beliau adalah manusia teragung, maka itu dinilai Allah tidak wajar beliau lakukan. Karena itu, ada rumus yang menyatakan bahwa: "Apa yang dianggap baik oleh orang kebanyakan, masih dapat dinilai buruk oleh yang budiman."

3. Tidak terlarang menyebut ciri yang tidak disenangi oleh yang dicirikan bila hal tersebut diperlukan untuk menjelaskan identitasnya. Menamai seseorang "si tunanetra" untuk tujuan memperkenalkannya—karena tidak ada kata lain yang dapat menunjuknya—digunakan oleh ayat ini.

4. Teguran tersebut mengajarkan bahwa ada hal-hal yang terlihat baik dan tepat melalui pandangan mata atau indikator-indikator yang tampak, tetapi pada hakikatnya jika diperhatikan lebih dalam dan dipikirkan secara saksama, atau jika diketahui hakikatnya yang terdalam maka ia tidak demikian.

5. Menghadapi—walau seorang—yang benar-benar ingin belajar dan menyucikan diri jauh lebih baik daripada menghadapi banyak orang yang hatinya tertutup.

Intisari Kandungan Ayat (Ayat 11-16)

Ayat-ayat yang lalu menegur Nabi Muhammad SAW atau siapa pun, ayat 11 dan 12 mengingatkan bahwa sekali-kali jangan mengulangi sikap itu! Sesungguhnya ia yakni ayat-ayat Al Qur'an serta ajaran yang engkau sampaikan kepada tokoh kaum musyrik itu adalah suatu peringatan, maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia mengingatnya yakni memerhatikannya.

Lebih lanjut dinyatakan bahwa ajaran itu tercantum juga di dalam lembaran-lembaran yang dimuliakan di sisi Allah (13 yang ditinggikan kedudukannya atau di langit lagi disucikan (14) sehingga tidak disentuh oleh sedikit kekurangan atau kekeruhan pun. Ia berada di tangan para penulis yakni dalam genggaman tangan para malaikat (15) Para malaikat itu adalah penulis-penulis yang menulis Al Qur'an dari Lauh al-Mahfudz atau duta-duta yang mulia, berbudi luhur lagi berbakti dengan kebaktian yang sangat tinggi (16).

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 11-16

1. Al-Qur’an adalah pelajaran dan peringatan. Setiap pelajaran dan peringatan baru akan bermanfaat jika ada langkah dari seseorang untuk menjadikannya pelajaran. Tidak ada gunanya Anda memiliki tiket perjalanan dan mengetahui tempat dan jam keberangkatan jika Anda tidak melangkah keluar rumah menuju stasiun/bandara.

2. Prinsip-prinsip ajaran yang terdapat dalam al- Qur’an, yakni akidah, syariah, dan akhlak terdapat juga dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah; Taurat, Injil, Zabur, dan shuhuf Ibrahim.

3. Ada malaikat yang antara lain berfungsi sebagai duta-duta bagi manusia, dalam arti melakukan kegiatan yang bermanfaat, bermohon kepada Allah kiranya si A atau si B memperoleh pengampunan dan perlindungan Allah.

Kelompok ayat-ayat yang lalu berbicara tentang keniscayaan Hari Kemudian dan sikap manusia yang durhaka terhadap jalannya; mereka yang enggan memerhatikan Al Qur'an.

Ayat 17 mengecam mereka yang angkuh itu dan siapa pun yang enggan menyambut tuntunan Al Qur'an dengan menyatakan: Binasalah manusia yang durhaka; alangkah amat sangat besar kekafirannya! Bukan saja pada banyaknya kekufuran, tetapi juga pada kualitas kekufurannya yang demikian mantap. Lebih lanjut kandungan ayat tersebut bagaikan berkata Apakah gerangan yang membuatnya kafir dan ingkar?

Lalu, ayat 18 bagaikan berkata: Tidakkah dia berpikir dari apakah Dia yakni Allah menciptakannya? Tanpa menunggu jawaban, langsung dijawab oleh ayat 19—karena siapa pun yang berakal tidak akan menjawab selainnya—bahwa: Dari setetes mani yang kadarnya sangat sedikit dan terlihat remeh/menjijikkan. Dia Yang Maha Kuasa itu menciptakannya lalu menetapkan kadar-nya yakni menentukan fase-fase kejadiannya hingga sempurna dan lahir sebagai manusia. Kemudian setelah sempurna kejadiannya sebagai janin, jalan untuk keluar dari perut ibunya Dia memudahkan (20) kemudian Dia mematikannya setelah berlalu usia yang ditetapkan Allah baginya, lalu Allah memerintahkan memasukkannya ke dalam kubur (21) kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkannya dari kubur (22). Selanjutnya, ayat 23 memperingatkan seluruh manusia: Sekali-kali jangan! Yakni jangan angkuh dan jangan kafir! Atau "Hati-hatilah!" Ayat 23 menjelaskan sebabnya, yakni karena dia belum menuntaskan tugasnya yang diperintahkan Allah sejak dia mukallaf/ dewasa sampai kematiannya.

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 17-23

1. Manusia perlu mempelajari asal kejadian dan jati dirinya, agar menyadari kelemahannya sehingga tidak angkuh dan selalu memohon bantuan Allah dan agar mengetahui potensi-potensinya, agar mengembangkan dan memanfaatkannya. Di samping itu siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan dapat mengenal keagungan dan kebesaran Tuhannya.

2. Pengetahuan tentang kapan datangnya Kiamat, sedikit pun tidak diketahui manusia—berbeda dengan pengetahuannya tentang kelahiran anak atau kematian. Itu sebabnya ketika menguraikan tentang Hari Kebangkitan, ayat tadi menggunakan kalimat Bila Dia menghendaki.

3. Siapa pun dan betapapun sempurnanya ibadah dan ketakwaan, namun manusia tetap saja tidak dapat melaksanakan secara sempurna dan tuntas seluruh apa yang ditugaskan Allah kepada-Nya. Itu salah satu sebab mengapa Allah membuka pintu taubat.

Intisari Kandungan Ayat (Ayat 24-32)

Setelah ayat-ayat yang lalu mengajak manusia memerhatikan dirinya, ayat 24 mengajak untuk memerhatikan bahan makanannya dengan mata kepala dan mata hati. Ayat 24 seakan-akan berkata: Kalau manusia hendak melaksanakan tugasnya dengan baik maka hendaklah manusia itu melihat ke makanannya, memerhatikan serta merenungkan bagaimana proses yang dilaluinya sehingga siap dimakan. Ayat 25 hingga 30 menjelaskan sekelumit proses itu dan hasil yang dipersembahkannya, yakni Sesungguhnya Kami telah mencurahkan air dari langit sederas-derasnya (25), kemudian Kami belah bumi yakni merekahnya melalui tumbuh-tumbuhan dengan belahan yang sempurna (26), lalu Kami tumbuhkan padanya yakni di bumi itu biji-bijian (27), dan anggur serta sayur-sayuran (28) dan juga pohon Zaitun serta pohon kurma (29), kebun-kebun yang lebat [30], serta buah-buahan dan )Abba*) yakni rumput-rumputan (31) Itu semua adalah untuk kesenangan kamu wahai umat manusia dan juga untuk binatang-binatang ternak kamu (32).

* Sayyidina Abu Bakar RA pernah ditanya tentang arti Abba (ayat 31), lalu beliau menjawab dengan "Saya tidak tahu." Jawaban serupa dikemukakan juga oleh Sayyidina Umar Ibnu al-Khaththab RA. Ini memberi pelajaran untuk tidak menjawab pertanyaan yang kita tidak ketahui, sekaligus larangan menafsirkan Al Qur'an secara spekulatif. Biarlah orang lain atau generasi berikut yang menjelaskannya, bila mereka mampu.

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 24-32

1. Melihat dan merenung tentang bahan makanan, bagaimana proses kejadiannya, lalu memilih yang terbaik dan sesuai untuk dimakan, merupakan salah satu perintah Allah yang perlu diperhatikan.
2. Setiap orang harus dapat menarik pelajaran dari fenomena alam, semakin dalam renungan, semakin banyak rahasia dan manfaatnya yang dapat terungkap.
3. Manusia hendaknya selalu mengingat nikmat-nikmat Allah—dan alangkah banyaknya nikmat tersebut, antara lain ketersediaan yang lebih dari cukup.
4. Persada bumi ini bahan pangan untuk seluruh makhluk hidup.

Ayat-ayat yang lalu menguraikan tentang aneka makanan yang disiapkan Allah bagi manusia. Di sana, terlihat betapa Allah kuasa mencipta. Pepohonan dipetik buahnya bahkan berguguran dedaunannya, khususnya pada musim gugur, kemudian berkembang lagi pada musim bunga.

Apa yang berjatuhan dari pepohonan, lalu bercampur dengan tanah dapat tumbuh lagi, antara lain menunjuk kuasa-Nya membangkitkan yang mati. Jika demikian, Kiamat pasti datang. Nah, ayat 33 menegaskan: maka apabila kiamat datang dengan suara yang memekakkan yaitu tiupan sangkakala yang kedua, pertanda bangkitnya semua makhluk dari kuburnya, pada hari itu semua manusia lari dari saudaranya (34), dan dari ibu dan bapaknya (35), serta dari teman yakni istri dan anak-anaknya (36).

Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang sangat menyibukkannya (37) sehingga masing- masing hanya mengurus dirinya, enggan diganggu oleh siapa pun. Setelah masing-masing selesai mempertanggungjawabkan amal-amalnya, maka ketika itu menurut ayat 38, banyak muka-muka yang berseri-seri penuh cahaya, tertawa dan gembira ria menikmati anugerah Allah (39).

Mereka itu adalah orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan menurut ayat 40, banyak juga muka-muka pada hari itu, wajah-nya terdapat debu yakni ditempel oleh debu sehingga tampak keruh, dan ditutup oleh kegelapan yang sangat hitam (41). Mereka itu adalah orang-orang kafir yang mengingkari keesaan Allah dan keniscayaan Kiamat lagi pendurhaka-pendurhaka (43), yakni pelaku-pelaku kejahatan dan amal-amal tidak terpuji.

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 33-42

1. Perhatikanlah fenomena alam niscaya Anda memperoleh contoh tentang kuasa Allah membangkitkan orang yang telah mati.
2. Pada Hari Kiamat, semua orang sibuk dengan dirinya sendiri. Semua juga takut mempertanggungjawabkan amal-amalnya tanpa dapat melempar tanggung jawab, tidak juga dapat saling tolong-menolong, kendati yang mengharapkan bantuan adalah orang yang paling dicintai. Situasi ini paling tidak terjadi pada awal tahap perhitungan Allah.
3. Di Hari Kemudian hanya ada dua kelompok besar, yaitu yang bermuka ceria dan bergembira ria, karena berbahagia dengan surga dan yang bermuka keruh lagi berwajah hitam karena takut, sedih memperoleh siksa yang pedih.

Demikian, Wa Allah A'lam.

Sumber : Detik.com dari Tafsir Al-Mishbah

Surah al-Balad

Surah al-Balad terdiri dari 20 ayat. Kata al-Balad, yang berarti "Negeri",diambil dari ayat pertama. Surah ini adalah surah Makkiyyah, yakni turun sebelum hijrah Nabi SAW ke Madinah. Hampir semua pakar tafsir menegaskan hal tersebut. Namanya dalam Shahih al-Bukhari adalah surah La Uqsimu seperti bunyi kalimat pertamanya. Ada juga yang menamainya surah al-Balad.

Surah ini mengandung isyarat tentang kedudukan mulia kota Mekkah sekaligus menjelaskan bahwa manusia diciptakan dengan kodrat serta potensi menghadapi serba-kesulitan sejak ia dilahirkan hingga sampai ke liang lahat dan kenyataan tersebut mengharuskannya selalu siap berjuang menghadapi berbagai tantangan. Salah satu bentuk perjuangan tersebut adalah perjuangan mengangkat taraf hidup orang-orang lemah, seperti anak-anak yatim.

Tujuan utama surah ini, menurut al-Biqa'i, adalah membuktikan betapa manusia sangat lemah dan bahwa kuasa dan kekuatan hanya dimiliki Allah SWT. Pada surah ini—menurutnya—diuraikan keresahan dan kesedihan manusia serta sebab yang mengantarnya ke sana, baik ia suka atau tidak, sambil menjelaskan cara untuk mengatasi keresahan itu.

Namanya al-Balad, yang menunjuk kota Mekkah, mengisyaratkan hal itu. Siapa yang memerhatikan rasa aman yang dinikmati penduduk Mekkah dan rezeki serta kesejahteraan yang melimpah di sana—padahal negeri itu gersang, berbeda dengan negeri yang lain yang lebih kaya dan kuat—siapa yang memerhatikan hal tersebut akan menyadari tujuan utama uraian surah ini. Demikian lebih kurang al-Biqa'i.

Surah ini merupakan wahyu yang ke-34 yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Ia turun sebelum surah Qaf dan sesudah surah ath-Thariq. Ayat-ayatnya berjumlah 20 ayat.

Akhir surah yang lalu (al-Fajr), menguraikan tentang surga yang merupakan tempat terbaik yang dihuni makhluk, apalagi surga yang disebut di sana dinisbahkan kepada Allah (surga-Ku), yang mengisyaratkan bahwa ia adalah surga yang tertinggi. Pada awal surah ini Allah bersumpah dengan kota yang termulia, yakni Mekkah dan jiwa yang termulia, yakni Nabi Muhammad SAW

Allah berfirman pada ayat 1 dan 2: bahwa Aku tidak bersumpah atau Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini*) yakni Mekkah, dan Aku bersumpah juga denganmu wahai Nabi Muhammad yang sedang bertempat tinggal di kota Mekkah. Dapat juga kedua ayat di atas bermakna: "Aku benar-benar bersumpah dengan kota Mekkah, walaupun engkau wahai Nabi Muhammad diperlakukan di sana secara tidak wajar. Perlakuan tidak wajar itu tidak mengurangi kebesaran dan keagungan kota ini di sisi-Ku."

Selanjutnya, melalui ayat 3 Allah melanjutkan sumpahnya dengan ber Firman: "Dan Aku juga bersumpah demi bapak kandung dan apa yang dia lahirkan, yakni anak keturunannya". Sumpah-sumpah tersebut untuk menekankan bahwa Sesungguhnya Kami, yakni Allah, dengan perantaraan ibu bapak telah menciptakan manusia seluruhnya berada dalam keadaan susah payah, yakni selalu menghadapi kesulitan dan keresahan [4].

*)Penggunaan isyarat dekat hadza/ini untuk menunjuk Mekkah, bertujuan menggambarkan bahwa kota tersebut selalu dekat di hati kaum Muslim, sehingga betapapun seseorang telah berkali-kali berkunjung ke sana, hatinya masih selalu dekat dan berpaut dengan kota itu.

Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 1-4

1.Betapapun seseorang mengalami kesulitan dan penderitaan fisik dalam kunjungannya ke Tanah Suci, tapi hal itu tidak menjadikannya jera, bahkan sebaliknya selalu ingin datang berkali-kali ke sana. Ini adalah berkat doa Nabi Ibrahim AS (baca: QS. Ibrâhîm/14: 37).

2.Jangan merasa kesal dan membenci kota Mekkah kendati—seandainya—penduduknya berlaku tidak wajar kepada Anda. Penghinaan oleh penduduk Mekkah yang telah mencapai puncaknya terhadap manusia teragung di sisi Allah, Nabi Muhammad SAW. tidaklah menghapus kesucian kota itu dan kewajiban menghormatinya.

3.Tariklah pelajaran dari kota Mekkah. Siapa yang memerhatikan rasa aman dan damai yang dinikmati serta kesejahteraan yang melimpah di sana—padahal negeri itu gersang, berbeda dengan negeri yang lain yang lebih kaya dan kuat—akan menyadari bahwa keberadaan di sisi rumah Allah adalah sumber kedamaian dan kesejahteraan.

4.Sumpah Allah tentang anak dan bapak, bukan saja untuk menggugah manusia memikirkan tentang kuasa Allah menurunkan sifat-sifat fisik dan psikis ibu bapak kepada anak, tetapi juga untuk mengingatkan bapak bagaimana dia harus mendidik anak, dan bagaimana anak menghormati orang tua, sehingga terjalin hubungan harmonis antara keduanya.

5.Semua manusia berpotensi mengalami keresahan dan menerima tempaan peristiwa yang tidak mudah dielakkan, kalau pun dia mampu mengelak, maka kesulitan lain akan muncul di hadapannya.Yang bebas dari lapar, belum tentu bebas dari penyakit, yang bebas dari keduanya, tidak mungkin bebas dari ketuaan—bila usianya berlanjut—sedang ketuaan sedikit atau banyak akan menggelisahkannya dan pada akhirnya kematian akan merenggut jiwanya tanpa izinnya. Kesulitan lain yang tidak dapat dielakkan adalah kewajiban membentengi diri dari rayuan nafsu dan setan. Sehingga pada akhirnya tidak ada manusia yang luput dari keresahan dan kesulitan.

Semua manusia tidak dapat luput dari kesulitan. Ada di antara mereka yang melakukan penganiayaan untuk menanggulangi kesulitannya, ada juga yang sedemikian angkuh sehingga berbangga dengan perolehannya. Mereka diperingatkan oleh ayat 5 dengan satu pertanyaan yang diharapkan menggugahnya, yaitu: Apakah dia menduga bahwa tidak ada yang berkuasa atasnya atau tidak ada yang akan mengatasi dan mengalahkannya? Ayat 6 melukiskan keangkuhannya, yakni dia berkata: "Aku telah menghabiskan secara sia-sia harta yang banyak."

Menanggapi keangkuhan si pengucap dan semacamnya, ayat 7 mengingatkan bahwa: Apakah dia menduga bahwa tiada satu pun yang melihat dengan mata kepala atau mata pikiran kegiatan-kegiatannya? Sungguh keliru dugaannya! Bukankah Kami telah menjadikan untuknya dua mata sehingga dapat melihat? [8], dan Kami juga menjadikan untuknya satu lidah dan dua bibir [9] agar dia dapat bercakap-cakap sehingga dapat menjelaskan apa yang dikandung oleh benak dan hatinya? Di samping itu, Kami juga telah menunjukinya dua jalan [10], yaitu yang hak dan yang batil dalam kepercayaan, yang benar dan bohong dalam ucapan, yang baik dan buruk dalam perbuatan. Semua itu mestinya mengantarnya sadar bahwa ada yang lebih ber kuasa atas dirinya dan ada juga yang memerhatikan dan mengawasinya.

Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 5-10

1.Jangan pernah menduga bahwa tidak ada yang mengatasi Anda, baik dalam kekuatan fisik, ilmu, harta, atau apa pun. Kalau kini Anda merasa demikian, maka yakinlah bahwa itu tidak langgeng. Pasti satu ketika—cepat atau lambat—akan ada yang mengatasi Anda. Karena itu, jika kemampuan Anda mendorong Anda untuk berlaku aniaya, maka ingatlah kuasa Allah atas diri Anda.

2.Sejak masa lampau, kini, dan akan datang selalu saja ada yang mengamati dan mengawasi manusia. Allah Maha Mengetahui, sekaligus menugaskan malaikat-malaikat untuk menjadi pengawas manusia.

3.Dengan memanfaatkan mata (mata kepala atau mata hati) manusia akan sampai kepada kesimpulan bahwa ada yang Mahakuasa, sehingga dengan demikian dia tidak akan menduga bahwa tidak ada yang dapat mengatasi dan mengalahkannya. Dengan memanfaatkan bibir dan lidah dengan baik, pasti dia tidak akan mengucapkan kalimat yang tidak wajar diucapkan seperti yang terekam oleh ayat 5 sampai 10 surat ini.

4.Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi baik dan buruk. Allah telah mengilhaminya kemampuan membedakan antara keduanya dan juga menganugerahkannya potensi untuk mengarah kepada kebaikan atau keburukan. Itulah antara lain yang dimaksud oleh firman-Nya: "Kami telah menunjukkannya dua jalan."

Ayat-ayat yang lalu menggambarkan bahwa Allah telah menganugerahi manusia petunjuk sehingga dapat memilih dua jalan; jalan kebaikan atau jalan keburukan. Ayat 11 mengajak dan mendorong semua manusia agar memilih jalan kebaikan. Allah berfirman: Maka tidakkah sebaiknya dia bangkit dengan penuh semangat dan kesungguhan untuk terjun menempuh jalan yang mendaki lagi sukar, yakni jalan
kebaikan itu?

Ayat 12 menggambarkan agung dan mulianya jalan itu dengan menyatakan: Apakah yang menjadikanmu mengetahui tentang jalan yang mendaki lagi sukar itu? Engkau tidak dapat membayangkan betapa keagungan dan hakikatnya.

Selanjutnya, ayat 13 memberikan gambaran tentang jalan itu, yakni melepaskan budak atau memerdekakan budak,*) atau membebaskan siapa pun yang terlilit oleh kesulitan atau penganiayaan. Setelah menegaskan perlunya penegakkan peri kemanusiaan, maka langkah kedua adalah upaya menyebarluaskan Keadilan Sosial yang disebut oleh ayat 14, yakni pemberian makanan pada hari kelaparan [14], lebih-lebih untuk anak yang belum dewasa, yang telah wafat ayahnya dan yang serupa dengan mereka yang ada hubungan kedekatan [15], atau orang miskin yang sangat fakir yang sangat membutuhkan bantuan [16].

*)Banyak cara yang ditempuh Islam untuk menghapus perbudakan, antara lain:
a.Para pemilik budak diperintahkan untuk memberi kesempatan kepada budak-budak mereka bekerja demi membebaskan dirinya.
b.Tawanan perang yang diperbudak dapat dibebaskan dengan tebusan bahkan tanpa tebusan.
c.Menetapkan kewajiban memerdekakan hamba sebagai tebusan dosa atau pelanggaran tertentu, seperti pembunuhan tak sengaja, sumpah palsu, dan zihar.
d.Bahwa pembebasan budak tidak dilakukannya dengan perintah langsung sehingga menghapusnya seketika, karena ketika itu perbudakan merajalela di mana-mana. Para budak hidup, makan, dan tinggal bersama tuannya. Kalau penghapusannya dilakukan tanpa bertahap, maka akan dikemanakan mereka? Pastilah terjadi gejolak sosial dan problema yang lebih parah daripada apa yang dialami oleh para buruh yang diputus hubungan kerjanya. Di samping itu, apa arti pembebasan jika sikap terhadap kaum lemah tidak berubah?

Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 11-16

1.Kegiatan membantu kaum dhuafa (lemah) adalah salah satu kegiatan yang terbaik dan sangat direstui Allah. Itu adalah jalan guna meraih ketinggian dan kejayaan.
2.Perbudakaan sangat dibenci Islam dan diupayakannya agar terhapus dari persada bumi ini.
3.Syarat diterimanya kebajikan adalah iman kepada Allah. Tanpa keimanan, amal menjadi sia-sia di Hari Kemudian.

Inti Sari Kandungan Ayat (Ayat 17-20)

Ayat 17 melanjutkan bahwa sifat pelaku kebajikan-kebajikan yang disebut sebelum ini. Pelakunya termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan tentang perlunya kesabaran dan ketabahan dalam melaksanakan ketaatan dan menghadapi cobaan serta saling berpesan tentang mutlaknya berkasih sayang antar seluruh makhluk. Mereka itulah— lanjut ayat 18—Ashhâb al-Maimanah, yakni golongan kanan, yang akan menerima kitab amalnya dengan tangan kanan. Mereka itulah penghuni surga. Sedang orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, yakni yang menutupi kebenaran yang disampaikan oleh Rasul dan mengingkarinya, atau yang sering kali melakukan kegiatan yang bertentangan dengan tujuan/ajaran agama, merekalah—bukan selain mereka— yang merupakan Ashhâb al-Masy’amah, yakni golongan kiri. Mereka kelak akan diliputi dan terkuasai oleh api neraka yang
tertutup sehingga mereka tidak dapat keluar darinya.

Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 17-20

1.Orang beriman selalu nasihat-menasihati menyangkut dua hal pokok, yaitu kesabaran dan berkasih-kasihan. Nasihat tentang kesabaran melahirkan tenggang rasa terhadap sesama manusia, dan nasihat tentang berkasih-kasihan melahirkan uluran tangan kepada setiap yang membutuhkan.
2.Al-Qur’an menjadikan kanan sebagai lambang kebaikan, kekuatan, dan keberkatan. Sebaliknya, kiri adalah lambang keburukan, kelemahan, dan kebejatan. Karena itu, lakukan hal-hal yang baik dengan menggunakan tangan/kaki kanan. Sedang dalam menghadapi sesuatu yang buruk atau tidak menyenangkan, maka lakukanlah dengan tangan/ kaki kiri.

Demikian, wa Allâh A‘lam.

Sumber : Detik.com dari Tafsir Al-Mishbah

Surah at-Takwir

Surah at-Takwir terdiri dari 29 ayat. Kata at-Takwir, yang berarti "Digulung",diambil dari ayat pertama.

Ayat-ayat surah ini disepakati turun keseluruhannya sebelum Nabi berhijrah ke Madinah, yakni Makkiyyah. Namanya yang populer adalah surah at-Takwir. Ini terambil dari kata kuwwirat yang disebut pada ayat pertamanya.Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Sunan at-Tirmidzi,penafsiran kedua ulama itu terhadap ayat-ayat surah ini mereka letakkan di bawah judul surah Idza asy-Syamsu Kuwwirat.

Memang, tidak ditemukan riwayat yang bersumber dari Nabi SAW yang menjelaskan nama surah ini. Dalam Sunan at-Tirmidzi dan Ahmad melalui sahabat Nabi SAW, Ibn 'Umar ra, ditemukan bahwa Nabi SAW. bersabda: "Siapa yang ingin melihat Hari Kiamat bagaikan melihatnya dengan pandangan mata kepala, hendaklah dia membaca Idza asy-Syamsu Kuwwirat, dan Idza as-Sama' Infatharat, dan Idza as-Sama' Insyaqqat.

Tujuan utama surah ini sebagaimana terbaca dari ayat-ayatnya dan dari sabda Nabi di atas adalah uraian tentang Hari Kiamat dan balasan yang akan diterima masing-masing orang. Al-Biqa'i menulis bahwa tujuan utama surah ini adalah ancaman keras atas siksa yang bakal terjadi di Hari Kiamat—hari tibanya makhluk di tempat tujuan terakhir. Ancaman itu ditujukan kepada siapa pun yang mengingkari kebenaran al-Qur'an yang merupakan peringatan, dan yang tertulis di lembaran-lembaran yang dimuliakan,ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis, utusan serta duta Allah (baca surah yang lalu, QS. 'Abasa (80): 13-16).

Ia disampaikan oleh utusan yang mulia, yakni malaikat Jibril, yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah Pemilik 'Arsy, yang ditaati di sana(dialam malaikat), lagi dipercaya (baca ayat-ayat 19-21 surah ini). Namanya at-Takwir (penggulungan matahari) merupakan petunjuk yang jelas tentang tujuan utama itu bagi yang memerhatikan kandungan ayat-ayatnya yang menjelaskan tentang balasan sekaligus keagungan al-Qur'an. Demikian lebih kurang al-Biqa'i.

Surah ini merupakan surah ke-7 yang diterima Nabi Muhammad SAW .Ia turun sesudah turunnya surah al-Fatihah dan sebelum surah al-A'la (Sabbihisma). Jumlah ayat-ayatnya 29 ayat.

Akhir surah yang lalu ('Abasa) ditutup dengan ancaman kepada kaum kafir dan pendurhaka tentang akan datangnya Kiamat dan siksa Allah. Surah ini dimulai dengan uraian tentang Kiamat itu dan memberi gambaran yang demikian jelas tentang kejadiannya. Ayat-ayat di atas menyebut enam hal luar biasa yang berbeda dengan apa yang selama ini dikenal dalam kehidupan sehari-hari yaitu:
1.Matahari digulung dengan sangat mudah.
2.Bintang-bintang berjatuhan dengan sendirinya atau pudar cahayanya.
3.Gunung-gunung digerakkan dari tempatnya.
4.Unta-unta yang mengandung di bulannya yang kesepuluh, yakni harta yang paling disukai, ditinggalkan.
5.Binatang-binatang buas dan liar dikumpulkan.
6.Samudera dipanaskan, atau dimunculkan panasnya, sehingga menjadi lautan api.

Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 1-6

Menjelang terjadinya Kiamat, Allah membatalkan sistem yang selama ini dijadikan-Nya pengatur tata kerja alam raya. Hukum-hukum yang mengaturnya tidak berfungsi sehingga bintang-bintang berjatuhan/bertabrakan dan pudar cahayanya. Matahari boleh jadi tidak lagi memberi kehangatan dan semua makhluk di bumi kedinginan dan membeku, atau justru sebaliknya memancarkan panas yang sangat terik sehingga menjadikan semua unsure yang membentuk matahari menjadi gas-gas yang menyala.

Manusia sibuk menyelamatkan diri sehingga tidak memedulikan selain keselamatannya. Bahkan binatang buas pun ketakutan, sehingga menjadi tidak buas atau tidak lagi saling mengancam sebagaimana yang terjadi selama ini. Mereka berkumpul di satu tempat—setelah keluar dari hutan/sarang-sarangnya. Oksigen dan Hidrogen yang merupakan unsur-unsur kejadian air (samudra) boleh jadi dipisahkan sehingga melahirkan ledakan-ledakan dahsyat.

Inti Sari Kandungan Ayat (Ayat 7- 14)

Ayat-ayat yang lalu melukiskan enam hal yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi menjelang Hari Kiamat. Ayat-ayat 7 sampai 14 menjelaskan juga enam peristiwa yang terjadi pada saat kebangkitan, yaitu:

1.Jiwa-jiwa dipertemukan kembali dengan jasadnya yang tadinya telah terkubur atau bergabungnya jiwa dengan sesamanya. Yang durhaka dengan yang durhaka, demikian juga sebaliknya.
2.Bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanyai mengapa mereka diperlakukan demikian. Ini untuk mengecam pelaku-pelaku kejam itu.
3.Lembaran-lembaran amal perbuatan manusia yang dicatat oleh malaikat dibuka lalu dibaca oleh masing-masing pemiliknya.
4.Langit dicabut dari tempatnya bagaikan menguliti kulit binatang.
5.Neraka Jahim dikobarkan lalu didekatkan kepada para pendurhaka.
6.Surga dihiasi lalu didekatkan menyambut para yang taat.

Apabila hal-hal yang disebut tadi terjadi, maka menurut ayat 14 setiap orang akan mengetahui dengan sangat jelas sehingga yakin serta menyadari apa yang telah dia kerjakan dalam kehidupan dunia ini.

Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 7-14

1.Alam raya akan punah, kehidupan dunia/di planet bumi tidak akan kekal. Karena itu sementara ilmuwan berkata bahwa setiap detik berlalu, berkurang pula berat matahari. Alam raya menurut ilmuwan terus melakukan ekspansi tapi suatu ketika jika tiba waktunya dia mengerucut dan mengerucut hingga punah.
2.Di Hari Kemudian manusia akan bangkit dengan jasad walau bukan lagi dengan jasad yang digunakannya di dunia.
3.Pada masa Jahiliyah sebagian suku membunuh anak-anak perempuan mereka karena takut tak mampu membiayai hidupnya atau karena khawatir dipermalukan bila anak-anaknya ditawan oleh musuh. Kecaman dan ancaman al-Qur’an terhadap pelakunya merupakan salah satu yang menunjukkan perhatian dan kasih sayang Islam terhadap perempuan dan larangannya melakukan kekerasan terhadap mereka.
4.Membunuh anak/aborsi baik perempuan maupun lelaki—setelah kelahiran atau masih janin—baik karena takut miskin atau menutup malu adalah dosa besar. Tidak diperkenankan melakukannya kecuali dalam keadaan darurat guna memelihara kelanjutan hidup ibu, dan/atau menurut sementara ulama dewasa ini akibat perkosaan.
5.Dalam kehidupan dunia ini, malaikat mencatat amal-amal perbuatan manusia, yang baik dan yang buruk, bahkan niatnya (yang baik) dan di Hari Kemudian setiap orang membaca catatan itu dan tak dapat mengingkarinya.

Kelompok ayat-ayat ini berbicara tentang al-Qur'an dan Nabi Muhammad SAW yang keduanya menyampaikan keniscayaan Hari Kiamat. Melalui ayat 15 dan 16, Allah bersumpah dengan bintang-bintang yang "bersembunyi" sehingga tidak terlihat oleh pandangan mata, dan juga bintang-bintang yang menampakkan diri saat terbit dengan cahayanya yang redup, yang beredar dengan amat cepat dan berlindung saat terbenam seperti berlindungnya kijang di persembunyiannya.

Dia juga bersumpah melalui ayat 17 dan 18 demi malam saat semakin menipis kepekatannya menjelang fajar, dan subuh saat fajarnya mulai menyingsing. Sumpah dengan aneka hal itu untuk menyatakan bahwa sesungguhnya Hari Kiamat seperti yang dilukiskan oleh ayat-ayat yang lalu dan al-Qur'an al-Karim benar-benar firman Allah yang disampaikan oleh utusan yang mulia, yakni
malaikat Jibril as. (ayat 19).

Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 15-19

1.Bintang-bintang yang bertebaran di angkasa ada yang tidak terlihat dengan pandangan mata telanjang, ada juga yang terlihat. Pada masa turunnya al-Qur'an lima planet tatasurya yang terlihat: Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, Saturnus. Sampai sekarang, kendati sudah lebih banyak yang dapat terlihat melalui teleskop, tetapi sebagian besar belum/tidak terlihat.
2.Malam atau kegelapan diibaratkan dengan rasa kesal dan gelisah yang menyesakkan nafas dan bila fajar telah menyingsing perasaan itu mulai berkurang tak ubahnya dengan ketenangan yang diperoleh seseorang yang menarik nafas panjang. Demikian juga halnya dengan kekufuran. Yang menyambut kehadiran al-Qur'an bagaikan menyambut fajar setelah kelamnya malam, bernafas lega sesudah sempitnya dada.
3.Al-Qur'an bukan ucapan Nabi Muhammad, bukan juga malaikat Jibril as. Malaikat Jibril hanya menyampaikannya kepada Nabi Muhammad, dan Nabi Muhammad saw. bertugas menyampaikan, menjelaskan kepada umat, dan memberi contoh pengamalannya.

Inti Sari Kandungan Ayat (Ayat 20-25)

Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan tentang al-Qur'an mulia yang disampaikan oleh utusan Allah yang mulia, Ayat 20 sampai 25 memuji dengan menjelaskan sifat utusan Tuhan itu bermula dengan menegaskan bahwa malaikat Jibril adalah pemilik kekuatan, yakni kemampuan yang diperolehya atas anugerah Allah, serta memiliki juga kedudukan tinggi di sisi Allah SWT, yang merupakan Pemilik lagi Penguasa 'Arasy yakni alam semesta ini. Malaikat itu ditaati di alam malaikat lagi dipercaya dalam segala hal, termasuk dalam menyampaikan wahyu al-Qur'an.

Selanjutnya, ayat 22 menampik tuduhan-tuduhan kaum musyrik terhadap Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan tuntunan al-Qur'an dengan menyatakan bahwa bukanlah "sahabatmu" yakni Nabi Muhammad SAW yang kamu kenal demikian dekat seperti dekatnya sahabat yang selalu bersama kamu, bukanlah dia seorang yang gila (22). Nabi agung itu telah melihat malaikat Jibril AS dalam bentuk aslinya di ufuk yang terang, yakni di Shidrat al-Muntaha di mana segala sesuatu menjadi terang tanpa sedikit kekaburan atau kekeruhan pun, sehingga beliau mengenal malaikat itu sebaik mungkin (23). Dia juga tidak kikir menjelaskan hal gaib yang diketahuinya (24). Selanjutnya, (ayat 25) menegaskan bahwa al-Qur'an yang beliau sampaikan itu sedikit pun bukan merupakan perkataan setan yang terkutuk.

Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 20-25

1.Seseorang yang diberi tugas haruslah yang memenuhi syarat-syarat guna keberhasilan tugasnya. Antara lain kemampuan dalam bidang tugasnya, amanah/kepercayaan yang menghiasi kepribadiannya, yang menjadikannya dihormati oleh lingkungannya.
2.Nabi Muhammad SAW—sebelum pengangkatan beliau sebagai nabi—telah dikenal secara luas oleh masyarakat dan dikagumi sebagai seorang yang sangat jujur.
3.Nabi Muhammad SAW tidak mungkin tukang tenung, karena biasanya tukang tenung enggan menyampaikan hal gaib yang di"aku"diketahuinya sebelum dibayar atau diberi semacam imbalan, padahal Nabi Muhammad SAW berusaha sekuat tenaga menyampaikan segala sesuatu yang beliau ketahui.
4.Seorang pengajar hendaknya jangan enggan menyampaikan informasi yang bermanfaat kepada siapa pun yang membutuhkannya.
5.Al-Qur'an tidak mungkin merupakan ucapan setan. Bukankah ayat-ayatnya mengutuk setan dan menjadikannya musuh abadi manusia. Bukankah setan selalu mengajak kepada keburukan, sedang al- Qur'an selalu menganjurkan dan mendorong kepada kebaikan?

Setelah ayat-ayat yang lalu menampik aneka tuduhan terhadap al-Qur'an dan terhadap yang menyampaikannya, dengan membuktikan kekeliruan mereka, maka kini ayat 26 mengecam para penuduh itu dengan menyatakan: Maka ke manakah kamu akan pergi yakni jalan apa yang kamu tempuh sehingga menuduh dengan tuduhan yang tidak benar serta berpaling darinya? Atau ke manakah kamu akan pergi, padahal di sini ada al-Qur'an yang memberi petunjuk keselamatan sedang tiada jalan keselamatan selainnya?

Ayat 27 dan 28 bagaikan menyatakan: Namun demikian, jika ada jalan lain yang hendak kamu tempuh, silakan saja karena al Qur'an tiada lain hanyalah peringatan dan bahan pelajaran bagi semesta alam, yaitu bagi siapa di antara kamu yang hendak menempuh jalan yang lurus dan menemukan kebenaran dan kebahagiaan.

Maksud ayat terakhir surah ini (ayat 29) adalah jangan duga jika kamu berkehendak, bahwa kamu memiliki kemandirian mutlak atas kehendakmu tanpa peranan Allah sama sekali. Jangan duga kamu dapat keluar dari system yang ditetapkan-Nya. Tidak! Allah memberi kamu potensi dan menunjuki jalan, dan kamu tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, yakni sesuai dengan sistem yang ditetapkan Tuhan semesta alam.

Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 26-29

1.Jalan yang ditempuh oleh mereka yang menolak al-Qur'an adalah jalan buntu. Kendati demikian, Allah tidak memaksa siapa pun untuk menelusuri jalan yang ditunjuki-Nya. Tiada paksaan dalam memilih jalan!.
2.Al-Qur'an adalah petunjuk dan peringatan. Siapa yang hendak meraih petunjuknya hendaklah dia berusaha, niscaya Allah akan membantunya.
3.Manusia memiliki kemampuan berusaha, tapi usaha itu sedikit pun tidak mengurangi kuasa dan kehendak Allah. Allah dapat memaksakan kehendak-Nya. Namun, itu bukan berarti bahwa Dia memaksa manusia, atau bahwa manusia tidak memiliki keterlibatan dan upaya. Karena itu, jangan pahami bahwa kehendak manusia terpisah dari kehendak Allah, yang kepada-Nya kembali segala sesuatu.

Demikian, Wa Allah A'lam.

Sumber : Detik.com dari Tafsir Al-Mishbah