SEMANGAT ISLAMI Mewarisi ajaran nabi tapi tetap sesuai zaman, meluruskan tapi tak merusak akidah dan syariah

Surah 'Abasa

Surah ini disepakati sebagai surah Makkiyyah. Namanya yang paling populer adalah surah 'Abasa (cemberut). Ada juga yang menamainya surah ash-Shakhkhah (yang memekakan telinga), surah as-Safarah (para penulis kalam Ilahi), dan surah al-A'ma (sang tunanetra) yang kesemuanya diambil dari kata-kata yang terdapat dalam surah ini. Pakar tafsir, Ibn al-'Arabi, dalam bukunya Ahkam al-Qur'an menamainya surah Ibn Ummi Maktum karena awal surah ini turun berkenaan dengan kasus sahabat Nabi yang buta itu sebagaimana akan Anda baca.

Tema utamanya, menurut Ibn 'Asyur, adalah pengajaran kepada Nabi Muhammad SAW membandingkan peringkat-peringkat kepentingan agar tidak mendahulukan sesuatu yang pada mulanya penting atas yang lain yang sama dengannya atau lebih penting darinya sambil mengisyaratkan perbedaan keadaan kaum musyrikin yang berpaling dari petunjuk Islam dengan kaum muslimin yang memberi perhatian besar terhadap ajaran Islam.

Menurut al-Biqa'i—tokoh yang selalu berusaha menunjukkan keserasian hubungan ayat-ayat al-Qur'an—tema dan tujuan utama surah ini adalah penjelasan tentang kandungan ayat 45 surah yang lalu yaitu: "Engkau hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya, yakni kepada Hari Kiamat."

Penjelasan itu adalah bahwa tujuan utamanya adalah memberi peringatan bagi siapa yang memiliki potensi (dan bermaksud) untuk takut kepada Allah melalui peringatan tentang Hari Kiamat yang telah terbukti keniscayaannya dengan kuasa-Nya menciptakan manusia pertama kali serta penciptaan awal dan pengulangannya menyangkut makanan. Namanya 'Abasa (bermuka masam) menunjukkan tujuan tersebut dengan memerhatikan ayat-ayatnya serta tujuannya. Demikian juga dengan namanya yang lain yaitu ash-Shakhkhah dan al-Bakhkhah yang menggambarkan tersemburnya api dan keburukan.

Thabathaba'i berpendapat bahwa surah ini merupakan kecaman kepada siapa yang memberi perhatian kepada orang-orang kaya yang bermewah-mewah dengan mengabaikan orang-orang lemah dan miskin dari kaum beriman. Thabathaba'i mengemukakan riwayat yang berbeda dengan riwayat populer di kalangan kelompok Ahl as-Sunnah yang mengatakan bahwa ayat ini turun sebagai teguran kepada Nabi Muhammad SAW yang bermuka masam terhadap 'Abdullah Ibn Ummi Maktum yang tunanetra.

Ulama beraliran Syi'ah itu mengemukakan riwayat dari sumber Syi'ah yang menyatakan bahwa yang bermuka masam bukanlah Nabi Muhammad SAW, tetapi salah seorang selain beliau. Surah ini dinilai sebagai surah yang ke-24 dari segi perurutan turunnya kepada Nabi saw. Ia turun sesudah surah an-Najm dan sebelum surah al-Qadr. Jumlah ayat-ayatnya menurut cara perhitungan ulama Mekkah, Madinah, Kufah adalah 42 ayat, sedang menurut cara perhitungan ulama Bashrah 41 ayat.

Surah ini merupakan awal dari surah-surah al-Mufashshal yang pertengahan jumlah ayat-ayatnya. Sedang, surah al-Hujurât sampai dengan an-Nazi'at adalah awal surah al-Mufashshal yang jumlah ayat-ayatnya dinilai banyak.

Rangkaian ayat-ayat ini turun berkaitan dengan kedatangan seorang tunanetra kepada Nabi Muhammad SAW yang meminta agar beliau mengajarnya. Nabi SAW ketika kedatangannya itu sedang menjelaskan ajaran Islam kepada tokoh-tokoh masyarakat Makkah dengan harapan ajakan beliau dapat menyentuh hati dan pikiran mereka, dan ini tentu saja akan membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah Islam.

Nah, kedatangan sang tunanetra saat itu sungguh mengganggu sehingga beliau tidak menyambutnya, bahkan bermuka masam. Allah dalam ayat 3 dan 4 mengarahkan pembicaraan langsung kepada Nabi SAW dengan berfirman: Apakah yang menjadikanmu mengetahui? Yakni engkau tidak dapat mengetahui isi hati seseorang. Boleh jadi dia, sang tunanetra, itu ingin membersihkan diri dan mengukuhkan imannya atau dia ingin mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu walau tidak dalam bentuk yang mantap.

Ayat-ayat berikutnya melanjutkan teguran-Nya dengan menyatakan bahwa: Adapun orang yang merasa tidak butuh kepadamu karena memiliki harta, anak, atau kedudukan maka engkau melayaninya dan menjelaskan secara sungguh-sungguh ajaran Islam. Engkau berbuat demikian, lanjut ayat 7, padahal tiada (celaan) atasmu, kalau dia tidak membersihkan diri dan memeluk Islam. Ayat 8 s/d 10 melanjutkan bahwa sedang siapa yang datang kepadamu dengan bersegera dan dalam keadaan takut—yakni sang tunanetra itu—maka engkau mengabaikannya.

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 1-10

1. Ayat-ayat tadi menunjukkan betapa jujur Nabi Muhammad saw. dalam menyampaikan wahyu Al Qur'an sehingga teguran terhadap diri beliau pun tidak disembunyikannya.

2. Kendati sikap Nabi Muhammad saw. dalam kasus yang dibenarkan ayat-ayat ini menurut ukuran manusia terhormat adalah sangat wajar dan baik, tetapi karena beliau adalah manusia teragung, maka itu dinilai Allah tidak wajar beliau lakukan. Karena itu, ada rumus yang menyatakan bahwa: "Apa yang dianggap baik oleh orang kebanyakan, masih dapat dinilai buruk oleh yang budiman."

3. Tidak terlarang menyebut ciri yang tidak disenangi oleh yang dicirikan bila hal tersebut diperlukan untuk menjelaskan identitasnya. Menamai seseorang "si tunanetra" untuk tujuan memperkenalkannya—karena tidak ada kata lain yang dapat menunjuknya—digunakan oleh ayat ini.

4. Teguran tersebut mengajarkan bahwa ada hal-hal yang terlihat baik dan tepat melalui pandangan mata atau indikator-indikator yang tampak, tetapi pada hakikatnya jika diperhatikan lebih dalam dan dipikirkan secara saksama, atau jika diketahui hakikatnya yang terdalam maka ia tidak demikian.

5. Menghadapi—walau seorang—yang benar-benar ingin belajar dan menyucikan diri jauh lebih baik daripada menghadapi banyak orang yang hatinya tertutup.

Intisari Kandungan Ayat (Ayat 11-16)

Ayat-ayat yang lalu menegur Nabi Muhammad SAW atau siapa pun, ayat 11 dan 12 mengingatkan bahwa sekali-kali jangan mengulangi sikap itu! Sesungguhnya ia yakni ayat-ayat Al Qur'an serta ajaran yang engkau sampaikan kepada tokoh kaum musyrik itu adalah suatu peringatan, maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia mengingatnya yakni memerhatikannya.

Lebih lanjut dinyatakan bahwa ajaran itu tercantum juga di dalam lembaran-lembaran yang dimuliakan di sisi Allah (13 yang ditinggikan kedudukannya atau di langit lagi disucikan (14) sehingga tidak disentuh oleh sedikit kekurangan atau kekeruhan pun. Ia berada di tangan para penulis yakni dalam genggaman tangan para malaikat (15) Para malaikat itu adalah penulis-penulis yang menulis Al Qur'an dari Lauh al-Mahfudz atau duta-duta yang mulia, berbudi luhur lagi berbakti dengan kebaktian yang sangat tinggi (16).

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 11-16

1. Al-Qur’an adalah pelajaran dan peringatan. Setiap pelajaran dan peringatan baru akan bermanfaat jika ada langkah dari seseorang untuk menjadikannya pelajaran. Tidak ada gunanya Anda memiliki tiket perjalanan dan mengetahui tempat dan jam keberangkatan jika Anda tidak melangkah keluar rumah menuju stasiun/bandara.

2. Prinsip-prinsip ajaran yang terdapat dalam al- Qur’an, yakni akidah, syariah, dan akhlak terdapat juga dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah; Taurat, Injil, Zabur, dan shuhuf Ibrahim.

3. Ada malaikat yang antara lain berfungsi sebagai duta-duta bagi manusia, dalam arti melakukan kegiatan yang bermanfaat, bermohon kepada Allah kiranya si A atau si B memperoleh pengampunan dan perlindungan Allah.

Kelompok ayat-ayat yang lalu berbicara tentang keniscayaan Hari Kemudian dan sikap manusia yang durhaka terhadap jalannya; mereka yang enggan memerhatikan Al Qur'an.

Ayat 17 mengecam mereka yang angkuh itu dan siapa pun yang enggan menyambut tuntunan Al Qur'an dengan menyatakan: Binasalah manusia yang durhaka; alangkah amat sangat besar kekafirannya! Bukan saja pada banyaknya kekufuran, tetapi juga pada kualitas kekufurannya yang demikian mantap. Lebih lanjut kandungan ayat tersebut bagaikan berkata Apakah gerangan yang membuatnya kafir dan ingkar?

Lalu, ayat 18 bagaikan berkata: Tidakkah dia berpikir dari apakah Dia yakni Allah menciptakannya? Tanpa menunggu jawaban, langsung dijawab oleh ayat 19—karena siapa pun yang berakal tidak akan menjawab selainnya—bahwa: Dari setetes mani yang kadarnya sangat sedikit dan terlihat remeh/menjijikkan. Dia Yang Maha Kuasa itu menciptakannya lalu menetapkan kadar-nya yakni menentukan fase-fase kejadiannya hingga sempurna dan lahir sebagai manusia. Kemudian setelah sempurna kejadiannya sebagai janin, jalan untuk keluar dari perut ibunya Dia memudahkan (20) kemudian Dia mematikannya setelah berlalu usia yang ditetapkan Allah baginya, lalu Allah memerintahkan memasukkannya ke dalam kubur (21) kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkannya dari kubur (22). Selanjutnya, ayat 23 memperingatkan seluruh manusia: Sekali-kali jangan! Yakni jangan angkuh dan jangan kafir! Atau "Hati-hatilah!" Ayat 23 menjelaskan sebabnya, yakni karena dia belum menuntaskan tugasnya yang diperintahkan Allah sejak dia mukallaf/ dewasa sampai kematiannya.

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 17-23

1. Manusia perlu mempelajari asal kejadian dan jati dirinya, agar menyadari kelemahannya sehingga tidak angkuh dan selalu memohon bantuan Allah dan agar mengetahui potensi-potensinya, agar mengembangkan dan memanfaatkannya. Di samping itu siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan dapat mengenal keagungan dan kebesaran Tuhannya.

2. Pengetahuan tentang kapan datangnya Kiamat, sedikit pun tidak diketahui manusia—berbeda dengan pengetahuannya tentang kelahiran anak atau kematian. Itu sebabnya ketika menguraikan tentang Hari Kebangkitan, ayat tadi menggunakan kalimat Bila Dia menghendaki.

3. Siapa pun dan betapapun sempurnanya ibadah dan ketakwaan, namun manusia tetap saja tidak dapat melaksanakan secara sempurna dan tuntas seluruh apa yang ditugaskan Allah kepada-Nya. Itu salah satu sebab mengapa Allah membuka pintu taubat.

Intisari Kandungan Ayat (Ayat 24-32)

Setelah ayat-ayat yang lalu mengajak manusia memerhatikan dirinya, ayat 24 mengajak untuk memerhatikan bahan makanannya dengan mata kepala dan mata hati. Ayat 24 seakan-akan berkata: Kalau manusia hendak melaksanakan tugasnya dengan baik maka hendaklah manusia itu melihat ke makanannya, memerhatikan serta merenungkan bagaimana proses yang dilaluinya sehingga siap dimakan. Ayat 25 hingga 30 menjelaskan sekelumit proses itu dan hasil yang dipersembahkannya, yakni Sesungguhnya Kami telah mencurahkan air dari langit sederas-derasnya (25), kemudian Kami belah bumi yakni merekahnya melalui tumbuh-tumbuhan dengan belahan yang sempurna (26), lalu Kami tumbuhkan padanya yakni di bumi itu biji-bijian (27), dan anggur serta sayur-sayuran (28) dan juga pohon Zaitun serta pohon kurma (29), kebun-kebun yang lebat [30], serta buah-buahan dan )Abba*) yakni rumput-rumputan (31) Itu semua adalah untuk kesenangan kamu wahai umat manusia dan juga untuk binatang-binatang ternak kamu (32).

* Sayyidina Abu Bakar RA pernah ditanya tentang arti Abba (ayat 31), lalu beliau menjawab dengan "Saya tidak tahu." Jawaban serupa dikemukakan juga oleh Sayyidina Umar Ibnu al-Khaththab RA. Ini memberi pelajaran untuk tidak menjawab pertanyaan yang kita tidak ketahui, sekaligus larangan menafsirkan Al Qur'an secara spekulatif. Biarlah orang lain atau generasi berikut yang menjelaskannya, bila mereka mampu.

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 24-32

1. Melihat dan merenung tentang bahan makanan, bagaimana proses kejadiannya, lalu memilih yang terbaik dan sesuai untuk dimakan, merupakan salah satu perintah Allah yang perlu diperhatikan.
2. Setiap orang harus dapat menarik pelajaran dari fenomena alam, semakin dalam renungan, semakin banyak rahasia dan manfaatnya yang dapat terungkap.
3. Manusia hendaknya selalu mengingat nikmat-nikmat Allah—dan alangkah banyaknya nikmat tersebut, antara lain ketersediaan yang lebih dari cukup.
4. Persada bumi ini bahan pangan untuk seluruh makhluk hidup.

Ayat-ayat yang lalu menguraikan tentang aneka makanan yang disiapkan Allah bagi manusia. Di sana, terlihat betapa Allah kuasa mencipta. Pepohonan dipetik buahnya bahkan berguguran dedaunannya, khususnya pada musim gugur, kemudian berkembang lagi pada musim bunga.

Apa yang berjatuhan dari pepohonan, lalu bercampur dengan tanah dapat tumbuh lagi, antara lain menunjuk kuasa-Nya membangkitkan yang mati. Jika demikian, Kiamat pasti datang. Nah, ayat 33 menegaskan: maka apabila kiamat datang dengan suara yang memekakkan yaitu tiupan sangkakala yang kedua, pertanda bangkitnya semua makhluk dari kuburnya, pada hari itu semua manusia lari dari saudaranya (34), dan dari ibu dan bapaknya (35), serta dari teman yakni istri dan anak-anaknya (36).

Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang sangat menyibukkannya (37) sehingga masing- masing hanya mengurus dirinya, enggan diganggu oleh siapa pun. Setelah masing-masing selesai mempertanggungjawabkan amal-amalnya, maka ketika itu menurut ayat 38, banyak muka-muka yang berseri-seri penuh cahaya, tertawa dan gembira ria menikmati anugerah Allah (39).

Mereka itu adalah orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan menurut ayat 40, banyak juga muka-muka pada hari itu, wajah-nya terdapat debu yakni ditempel oleh debu sehingga tampak keruh, dan ditutup oleh kegelapan yang sangat hitam (41). Mereka itu adalah orang-orang kafir yang mengingkari keesaan Allah dan keniscayaan Kiamat lagi pendurhaka-pendurhaka (43), yakni pelaku-pelaku kejahatan dan amal-amal tidak terpuji.

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 33-42

1. Perhatikanlah fenomena alam niscaya Anda memperoleh contoh tentang kuasa Allah membangkitkan orang yang telah mati.
2. Pada Hari Kiamat, semua orang sibuk dengan dirinya sendiri. Semua juga takut mempertanggungjawabkan amal-amalnya tanpa dapat melempar tanggung jawab, tidak juga dapat saling tolong-menolong, kendati yang mengharapkan bantuan adalah orang yang paling dicintai. Situasi ini paling tidak terjadi pada awal tahap perhitungan Allah.
3. Di Hari Kemudian hanya ada dua kelompok besar, yaitu yang bermuka ceria dan bergembira ria, karena berbahagia dengan surga dan yang bermuka keruh lagi berwajah hitam karena takut, sedih memperoleh siksa yang pedih.

Demikian, Wa Allah A'lam.

Sumber : Detik.com dari Tafsir Al-Mishbah

Tidak ada komentar: