Surah adh-Dhuha terdiri dari 11 ayat. Kata adh-Dhuha, yang berarti 'Waktu matahari naik sepenggalahan', diambil dari ayat pertama.
Surah adh-Dhuha disepakati oleh ulama sebagai surah yang turun sebelum Nabi berhijrah ke Madinah. Namanya adh-Dhuha dikenal luas di kalangan ulama, hanya saja ada yang menamainya persis serupa dengan awal ayatnya dan ada juga yang menamainya sekadar dengan adh-Dhuha.
Tema utamanya adalah sanggahan terhadap dugaan yang menyatakan bahwa Allah telah meninggalkan Rasul SAW akibat tidak hadirnya wahyu yang selama ini telah diterima oleh Rasul SAW, sambil menghibur beliau dengan perolehan anugerah Allah hingga beliau puas.
Al-Biqa'i berpendapat bahwa tujuan utama surah ini adalah menguraikan apa yang disebut pada akhir surah lalu—surah al-Lail—bahwa yang paling bertakwa di antara seluruh orang bertakwa adalah dia yang mutlak paling bertakwa dalam pandangan keridhaan Allah, yakni Nabi Muhammad SAW. Keridhaan-Nya tidak terputus bagi beliau di dunia dan akhirat. Ini disebabkan terhiasinya beliau dengan sifat-sifat sempurna yang merupakan sarana mengantar kepada tujuan, bagaikan adh-Dhuha yang merupakan cahaya matahari yang paling sempurna. Dengan demikian, nama surah ini menunjuk kepada tujuan tersebut. Demikian lebih kurang al-Biqa'i.
Ayat-ayat surah ini sebanyak 11 ayat. Sebelum turunnya surah ini, Rasul saw. telah sepuluh kali menerima wahyu. Dengan merujuk kepada penelitian sejumlah pakar Al Qur'an dan sementara orientalis, seperti Noldeke, diperoleh informasi bahwa sepuluh surah (bagian surah) pertama yang diterima Nabi Muhammad saw. ialah: 1. Iqra', 2. al-Qalam, 3. al-Muzzammil, 4. al-Muddatstsir, 5. al-Lahab, 6. at-Takwir, 7. Sabbihisma, 8. Alam Nasyrah, 9. al-'Ashr, dan 10. al-Fajr. Setelah turunnya ayat-ayat pada ke-10 surah tersebut, tiba-tiba wahyu 'terputus' kedatangannya.
Ketidakhadiran wahyu Al Qur'an, seperti selama ini diterima Nabi SAW, melahirkan berbagai tanggapan masyarakat bahkan dampak negatif dalam jiwa Nabi sendiri; beliau menjadi gelisah, walaupun tidak sampai kepada suatu tingkat yang digambarkan oleh penafsir Muhammad 'Abduh dan al-Maraghi—berdasarkan suatu riwayat—bahwa "Nabi sering kali pergi ke puncak gunung untuk menjatuhkan dirinya (membunuh diri)," Wa al-'Iyadzu billah. "Tuhan Muhammad telah meninggalkan dan membencinya", demikian tanggapan sementara kaum musyrikin atas ketidakhadiran wahyu itu.
Adapun mengenai siapa yang mengucapkan kata-kata ini, yang kemudian dibantah oleh ayat ketiga surah ini, tidak diketahui jelas karena banyak riwayat yang simpang siur. Satu riwayat menyatakan bahwa orang itu adalah Ummu Jamil istri Abu Lahab; ada pula riwayat yang mengatakan bahwa yang berkata demikian adalah Khadijah RA istri Nabi sendiri. Muhammad 'Abduh berpendapat bahwa ucapan itu adalah gambaran tentang gejolak jiwa Nabi sendiri yang merasa telah ditinggalkan dan dibenci oleh Tuhan.
'Abduh menolak pandangan yang menyatakan bahwa kaum musyrikin yang mengucapkan kata-kata itu dengan alasan bagaimana mereka mengetahui ketidakhadiran wahyu sampai mereka dapat memberi tanggapan semacam itu? Yang terjadi—menurutnya—adalah karena Nabi SAW sudah demikian rindu dengan kehadiran wahyu, setelah merasakan manisnya berhubungan dengan wahyu Ilahi, dan setiap kerinduan melahirkan kegelisahan, setiap kegelisahan melahirkan rasa takut. Rasa takut ini dialami oleh setiap manusia. Sedang, Rasul SAW adalah manusia yang hanya berbeda dengan manusia lain dari segi perolehan wahyu semata-mata, sebagaimana ditegaskan Allah dalam banyak tempat di dalam Al Qur'an, seperti: "Aku hanyalah seorang manusia seperti kamu (tetapi) yang mendapat wahyu." Demikian pendapat Muhammad 'Abduh.
Betapapun berbeda-beda riwayat itu, yang dapat dipastikan adalah bahwa surah ini turun sebagai bantahan terhadap dugaan tersebut sekaligus hiburan kepada Nabi SAW menyangkut masa depan risalah yang diembannya. Mengapa wahyu tidak datang sebagaimana biasanya? Riwayat yang dikemukakan oleh ath-Thabarani menyatakan bahwa seekor anak anjing mati di kamar tidur Nabi, sedang Jibril enggan masuk di satu rumah yang di dalamnya terdapat anjing, dan nanti setelah bangkai anjing itu dikeluarkan, barulah malaikat Jibril datang.
Riwayat ini memiliki kelemahan-kelemahan, baik dari segi sanad (rangkaian para perawinya) maupun dari segi matan (kandungan beritanya). Sebentar kita akan kembali membahas persoalan ini.
Berapa lamakah Nabi SAW menantikan kehadiran wahyu sehingga timbul tanggapan negatif di atas? Berbeda-beda pula riwayat menyangkut hal ini. Imam Bukhari menyatakan 2 atau 3 hari, sedang Ibn Jarîr ath-Thabari mendukung riwayat yang menyatakan 12 hari. Ada juga riwayat yang menyatakan 15 bahkan 40 hari, tentunya semakin lama jarak antara keduanya semakin besar kegelisahan dan tanggapan negatif, demikian pula sebaliknya, sehingga riwayat Bukhâri di atas agaknya dapat diartikan sebagai '2-3 hari' dalam arti beberapa hari.
Surah ini merupakan awal dari surah yang dinamai Qishar al-Mufashshal. Ketika turunnya Nabi SAW bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar), dan dari pengamalan beliau inilah para ulama menganjurkan agar setiap selesai membaca surah ini dan surah-surah yang tercantum dalam Mushhaf sesudah adh-Dhuha agar bertakbir pula, baik pembacaan tersebut dalam salat maupun di luar salat.
Surah adh-Dhuha disepakati oleh ulama sebagai surah yang turun sebelum Nabi berhijrah ke Madinah. Namanya adh-Dhuha dikenal luas di kalangan ulama, hanya saja ada yang menamainya persis serupa dengan awal ayatnya dan ada juga yang menamainya sekadar dengan adh-Dhuha.
Tema utamanya adalah sanggahan terhadap dugaan yang menyatakan bahwa Allah telah meninggalkan Rasul SAW akibat tidak hadirnya wahyu yang selama ini telah diterima oleh Rasul SAW, sambil menghibur beliau dengan perolehan anugerah Allah hingga beliau puas.
Al-Biqa'i berpendapat bahwa tujuan utama surah ini adalah menguraikan apa yang disebut pada akhir surah lalu—surah al-Lail—bahwa yang paling bertakwa di antara seluruh orang bertakwa adalah dia yang mutlak paling bertakwa dalam pandangan keridhaan Allah, yakni Nabi Muhammad SAW. Keridhaan-Nya tidak terputus bagi beliau di dunia dan akhirat. Ini disebabkan terhiasinya beliau dengan sifat-sifat sempurna yang merupakan sarana mengantar kepada tujuan, bagaikan adh-Dhuha yang merupakan cahaya matahari yang paling sempurna. Dengan demikian, nama surah ini menunjuk kepada tujuan tersebut. Demikian lebih kurang al-Biqa'i.
Ayat-ayat surah ini sebanyak 11 ayat. Sebelum turunnya surah ini, Rasul saw. telah sepuluh kali menerima wahyu. Dengan merujuk kepada penelitian sejumlah pakar Al Qur'an dan sementara orientalis, seperti Noldeke, diperoleh informasi bahwa sepuluh surah (bagian surah) pertama yang diterima Nabi Muhammad saw. ialah: 1. Iqra', 2. al-Qalam, 3. al-Muzzammil, 4. al-Muddatstsir, 5. al-Lahab, 6. at-Takwir, 7. Sabbihisma, 8. Alam Nasyrah, 9. al-'Ashr, dan 10. al-Fajr. Setelah turunnya ayat-ayat pada ke-10 surah tersebut, tiba-tiba wahyu 'terputus' kedatangannya.
Ketidakhadiran wahyu Al Qur'an, seperti selama ini diterima Nabi SAW, melahirkan berbagai tanggapan masyarakat bahkan dampak negatif dalam jiwa Nabi sendiri; beliau menjadi gelisah, walaupun tidak sampai kepada suatu tingkat yang digambarkan oleh penafsir Muhammad 'Abduh dan al-Maraghi—berdasarkan suatu riwayat—bahwa "Nabi sering kali pergi ke puncak gunung untuk menjatuhkan dirinya (membunuh diri)," Wa al-'Iyadzu billah. "Tuhan Muhammad telah meninggalkan dan membencinya", demikian tanggapan sementara kaum musyrikin atas ketidakhadiran wahyu itu.
Adapun mengenai siapa yang mengucapkan kata-kata ini, yang kemudian dibantah oleh ayat ketiga surah ini, tidak diketahui jelas karena banyak riwayat yang simpang siur. Satu riwayat menyatakan bahwa orang itu adalah Ummu Jamil istri Abu Lahab; ada pula riwayat yang mengatakan bahwa yang berkata demikian adalah Khadijah RA istri Nabi sendiri. Muhammad 'Abduh berpendapat bahwa ucapan itu adalah gambaran tentang gejolak jiwa Nabi sendiri yang merasa telah ditinggalkan dan dibenci oleh Tuhan.
'Abduh menolak pandangan yang menyatakan bahwa kaum musyrikin yang mengucapkan kata-kata itu dengan alasan bagaimana mereka mengetahui ketidakhadiran wahyu sampai mereka dapat memberi tanggapan semacam itu? Yang terjadi—menurutnya—adalah karena Nabi SAW sudah demikian rindu dengan kehadiran wahyu, setelah merasakan manisnya berhubungan dengan wahyu Ilahi, dan setiap kerinduan melahirkan kegelisahan, setiap kegelisahan melahirkan rasa takut. Rasa takut ini dialami oleh setiap manusia. Sedang, Rasul SAW adalah manusia yang hanya berbeda dengan manusia lain dari segi perolehan wahyu semata-mata, sebagaimana ditegaskan Allah dalam banyak tempat di dalam Al Qur'an, seperti: "Aku hanyalah seorang manusia seperti kamu (tetapi) yang mendapat wahyu." Demikian pendapat Muhammad 'Abduh.
Betapapun berbeda-beda riwayat itu, yang dapat dipastikan adalah bahwa surah ini turun sebagai bantahan terhadap dugaan tersebut sekaligus hiburan kepada Nabi SAW menyangkut masa depan risalah yang diembannya. Mengapa wahyu tidak datang sebagaimana biasanya? Riwayat yang dikemukakan oleh ath-Thabarani menyatakan bahwa seekor anak anjing mati di kamar tidur Nabi, sedang Jibril enggan masuk di satu rumah yang di dalamnya terdapat anjing, dan nanti setelah bangkai anjing itu dikeluarkan, barulah malaikat Jibril datang.
Riwayat ini memiliki kelemahan-kelemahan, baik dari segi sanad (rangkaian para perawinya) maupun dari segi matan (kandungan beritanya). Sebentar kita akan kembali membahas persoalan ini.
Berapa lamakah Nabi SAW menantikan kehadiran wahyu sehingga timbul tanggapan negatif di atas? Berbeda-beda pula riwayat menyangkut hal ini. Imam Bukhari menyatakan 2 atau 3 hari, sedang Ibn Jarîr ath-Thabari mendukung riwayat yang menyatakan 12 hari. Ada juga riwayat yang menyatakan 15 bahkan 40 hari, tentunya semakin lama jarak antara keduanya semakin besar kegelisahan dan tanggapan negatif, demikian pula sebaliknya, sehingga riwayat Bukhâri di atas agaknya dapat diartikan sebagai '2-3 hari' dalam arti beberapa hari.
Surah ini merupakan awal dari surah yang dinamai Qishar al-Mufashshal. Ketika turunnya Nabi SAW bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar), dan dari pengamalan beliau inilah para ulama menganjurkan agar setiap selesai membaca surah ini dan surah-surah yang tercantum dalam Mushhaf sesudah adh-Dhuha agar bertakbir pula, baik pembacaan tersebut dalam salat maupun di luar salat.
Ketidakhadiran wahyu al-Qur’an, seperti yang selama ini diterima oleh Nabi Muhammad SAW, melahirkan dampak negatif dalam jiwa beliau sehingga melahirkan semacam kegelisahan. Kegelisahan menjadi-jadi dengan komentar berbagai kalangan masyarakat yang menyatakan bahwa, "Tuhan Muhammad telah meninggalkan dan membencinya."
Untuk membantah komentar-komentar tersebut sekaligus menenangkan hati Nabi SAW, Allah SWT bersumpah: Demi adh-Duha, yakni matahari ketika naik sepenggalahan (1).*) Dan demi malam saat ia hening (2).**) Allah tidak meninggalkanmu dan tidak pula membenci (3), dengan kebencian yang luar biasa, baik terhadap siapa pun apalagi terhadapmu. Selanjutnya, ayat 4 menegaskan bahwa sungguh akhirat, yakni masa datang lebih baik bagimu wahai Nabi Muhammad dari pada masa lalu. Selanjutnya, ayat 5 yang menyatakan bahwa Tuhan Pemeliharamu pasti akan memberimu aneka karunia sampai engkau puas.
*) Kehadiran wahyu dilukiskan dengan cahaya matahari ketika naik sepenggalah, yang cahayanya ketika itu memancar menerangi seluruh penjuru, tetapi dalam saat yang sama ia tidak terlalu terik, sehingga tidak mengakibatkan gangguan sedikit pun, bahkan panasnya memberikan kesegaran, kenyamanan, dan kesehatan. Demikian itulah perumpamaan tuntunan-tuntunan wahyu Ilahi.
**) Ketidakhadiran tuntunan Ilahi bukan saja sama dengan kegelapan yang remang-remang pada saat Maghrib misalnya, tetapi kegelapan yang terjadi di tengah malam buta. Ketika itu tidak secercah pun cahaya matahari, kesunyiaan yang melahirkan kegelisahan pun sering kali dialami. Begitulah keadaan mereka yang tidak memperoleh bimbingan wahyu.
Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 1-5
1. Nabi SAW tidak sedikit pun memiliki peranan dalam kehadiran atau ketidakhadiran wahyu. Buktinya bahwa kendati beliau sangat mendambakan kehadirannya, namun berhari-hari wahyu tak kunjung datang.
2. Matahari tidak membedakan antara satu lokasi dengan lokasi yang lain: Kalaupun ada sesuatu yang tidak disentuh oleh cahayanya, maka hal itu bukan disebabkan oleh matahari itu tetapi karena posisi lokasi itu sendiri yang terhalangi oleh sesuatu. Begitu juga tuntunan Ilahi. Siapa yang menghindari/menjauh dari lokasi pancarannya, ia tidak akan mendapatkan sinar dan kehangatannya. Karena itu mendekatlah, bukalah pintu dan jendela hati Anda agar cahaya dapat memasukinya.
3. Ketidakhadiran wahyu—dalam beberapa hari— bukan tanda bahwa Tuhan meninggalkan Nabi SAW. Kalau pun itu serupa dengan malam kelam, maka itu hanya sementara karena fajar sebentar lagi akan menyingsing. Ketidakhadirannya bertujuan memberi kesempatan beristirahat. Bukankah malam dijadikan Allah untuk beristirahat?
4. Allah sama sekali tidak membenci dengan kebencian luar biasa terhadap siapa pun. Betapa pun besar murka-Nya, namun rahmat-Nya mengalahkan amarah-Nya. Rahmat-Nya tetap menyentuh pendurhaka. Karena itu, Rasul saw. berpesan: "Cintailah kekasihmu tanpa melampaui batas karena mungkin dia akan menjadi orang yang kamu benci pada suatu saat. Dan bencilah musuhmu tanpa melampaui batas pula karena mungkin suatu ketika dia menjadi kekasihmu."
5. Masa datang bagi orang yang beriman selalu lebih baik daripada masa kininya. Karena itu, siapa yang hari ininya lebih baik dari hari esoknya maka sungguh merugi bahkan celaka dia.
Untuk membantah komentar-komentar tersebut sekaligus menenangkan hati Nabi SAW, Allah SWT bersumpah: Demi adh-Duha, yakni matahari ketika naik sepenggalahan (1).*) Dan demi malam saat ia hening (2).**) Allah tidak meninggalkanmu dan tidak pula membenci (3), dengan kebencian yang luar biasa, baik terhadap siapa pun apalagi terhadapmu. Selanjutnya, ayat 4 menegaskan bahwa sungguh akhirat, yakni masa datang lebih baik bagimu wahai Nabi Muhammad dari pada masa lalu. Selanjutnya, ayat 5 yang menyatakan bahwa Tuhan Pemeliharamu pasti akan memberimu aneka karunia sampai engkau puas.
*) Kehadiran wahyu dilukiskan dengan cahaya matahari ketika naik sepenggalah, yang cahayanya ketika itu memancar menerangi seluruh penjuru, tetapi dalam saat yang sama ia tidak terlalu terik, sehingga tidak mengakibatkan gangguan sedikit pun, bahkan panasnya memberikan kesegaran, kenyamanan, dan kesehatan. Demikian itulah perumpamaan tuntunan-tuntunan wahyu Ilahi.
**) Ketidakhadiran tuntunan Ilahi bukan saja sama dengan kegelapan yang remang-remang pada saat Maghrib misalnya, tetapi kegelapan yang terjadi di tengah malam buta. Ketika itu tidak secercah pun cahaya matahari, kesunyiaan yang melahirkan kegelisahan pun sering kali dialami. Begitulah keadaan mereka yang tidak memperoleh bimbingan wahyu.
Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 1-5
1. Nabi SAW tidak sedikit pun memiliki peranan dalam kehadiran atau ketidakhadiran wahyu. Buktinya bahwa kendati beliau sangat mendambakan kehadirannya, namun berhari-hari wahyu tak kunjung datang.
2. Matahari tidak membedakan antara satu lokasi dengan lokasi yang lain: Kalaupun ada sesuatu yang tidak disentuh oleh cahayanya, maka hal itu bukan disebabkan oleh matahari itu tetapi karena posisi lokasi itu sendiri yang terhalangi oleh sesuatu. Begitu juga tuntunan Ilahi. Siapa yang menghindari/menjauh dari lokasi pancarannya, ia tidak akan mendapatkan sinar dan kehangatannya. Karena itu mendekatlah, bukalah pintu dan jendela hati Anda agar cahaya dapat memasukinya.
3. Ketidakhadiran wahyu—dalam beberapa hari— bukan tanda bahwa Tuhan meninggalkan Nabi SAW. Kalau pun itu serupa dengan malam kelam, maka itu hanya sementara karena fajar sebentar lagi akan menyingsing. Ketidakhadirannya bertujuan memberi kesempatan beristirahat. Bukankah malam dijadikan Allah untuk beristirahat?
4. Allah sama sekali tidak membenci dengan kebencian luar biasa terhadap siapa pun. Betapa pun besar murka-Nya, namun rahmat-Nya mengalahkan amarah-Nya. Rahmat-Nya tetap menyentuh pendurhaka. Karena itu, Rasul saw. berpesan: "Cintailah kekasihmu tanpa melampaui batas karena mungkin dia akan menjadi orang yang kamu benci pada suatu saat. Dan bencilah musuhmu tanpa melampaui batas pula karena mungkin suatu ketika dia menjadi kekasihmu."
5. Masa datang bagi orang yang beriman selalu lebih baik daripada masa kininya. Karena itu, siapa yang hari ininya lebih baik dari hari esoknya maka sungguh merugi bahkan celaka dia.
Untuk lebih meyakinkan semua pihak tentang kebenaran dan kepastian janji Allah yang disebut oleh ayat-ayat yang lalu, ayat-ayat di atas menguraikan sedikit dari anugerah Allah yang telah dilimpahkan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW, Allah berfirman: Bukankah Allah mendapatimu sebagai seorang yatim yang membutuhkan perlindungan, lalu Dia melindungimu dengan menyerahkanmu kepada kakek dan pamanmu? (6).
Bukankah Allah mendapatimu sebagai seorang yang bingung, karena tidak ada kepercayaan dalam masyarakat yang memuaskan nalar dan jiwamu, lalu Dia memberi petunjuk kepadamu dengan kedatangan malaikat Jibril menyampaikan wahyu-wahyu-Ku? (7)
Bukan pulakah Allah mendapatimu seorang yang berkekurangan, yakni tidak memiliki harta benda, lalu Dia memberi kecukupan dengan rezeki-Nya serta kepuasan hati? (8).
Tiga anugerah Allah yang diingatkan kepada Nabi SAW itu dihadapkan dengan tiga petunjuk dalam rangka mensyukuri ketiga nikmat tersebut yaitu:
Adapun anak yatim, maka janganlah sewenang-wenang terhadapnya (9). Bukankah engkau telah merasakan betapa pahitnya menjadi yatim?
Adapun peminta, yakni yang membutuhkan sehingga meminta guna menutupi kebutuhannya—baik material maupun selainnya—maka janganlah menghardiknya (10).
Adapun menyangkut nikmat Tuhanmu, maka sampaikan atau sebut-sebutlah (11).*)
*) Penyampaian nikmat/anugerah tersebut tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat material, tetapi mencakup juga yang immaterial, semacam nama baik dan kedudukan yang diperoleh. Ini dianjurkan untuk disebut-sebut selama tidak diikuti oleh rasa keangkuhan dan kebanggaan yang terlarang.
Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 6-11
1. Perlindungan bersumber dari Allah SWT, walau sepintas terlihat melalui tangan-tangan manusia.**)
2. Nabi SAW tidak dikenal sebagai seorang kaya. Namun, Allah menganugerahi beliau kecukupan berupa kepuasan hati setelah usaha halal maksimal. Dan itulah kekayaan yang sebenarnya.
3. Yang pertama dan utama yang dituntut terhadap anak-anak yatim adalah bersikap baik dengan menjaga perasaan mereka, bukannya memberi mereka pangan. Menyakiti perasaan anak kecil dapat menimbulkan kompleks kejiwaan yang terbawa hingga dewasa. Dampaknya jauh lebih buruk daripada kekurangan dalam bidang material.
4. Menyebut-nyebut nikmat Tuhan apabila disertai dengan rasa puas sambil menjauhkan rasa angkuh merupakan salah satu bentuk pengejawantahan dari kesyukuran kepada Allah SWT.
5. Tiga tuntunan pada akhir surah ini, diperurutkan sedemikian rupa. Agaknya Allah SWT sengaja mendahulukan arangan berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim dan larangan menghardik siapa pun yang meminta —sengaja mendahulukan kedua petunjuk ini—atas petunjuk yang dikandung oleh ayat 11, yakni menyampaikan/berbicara tentang nikmat Allah, agar dengan demikian Allah mendahulukan hak dan kepentingan anak-anak yatim serta orang-orang yang sangat berhajat atas hak-Nya sendiri, karena keduanya merupakan makhluk dhaif yang mendambakan bantuan, sedang Dia (Allah) adalah Zat yang tidak memerlukan apa pun. Dengan demikian, membantu yang dhaif dan perlu harus didahulukan atas yang kuasa dan mampu.
**) Sejarah menguraikan bahwa ayah Nabi SAW, Abdullah, wafat saat usia beliau dalam kandungan baru dua bulan. Pada usia enam tahun ibu beliau, Aminah, kembali juga ke rahmat Allah sehingga Muhammad saw. dipelihara dan diasuh oleh kakeknnya, Abdul Muththalib. Setelah dua tahun kemudian sang kakek pun meninggal, seterusnya paman beliau, Abu Thalib, tampil sebagai pengasuh sekaligus pelindung utama beliau hingga dewasa, bahkan hingga diangkat menjadi Nabi. Demikian antara lain perlindungan Allah kepada Nabi SAW yang dianugerahkan-Nya melalui manusia.
Demikian, wa Allah A'lam.
Bukankah Allah mendapatimu sebagai seorang yang bingung, karena tidak ada kepercayaan dalam masyarakat yang memuaskan nalar dan jiwamu, lalu Dia memberi petunjuk kepadamu dengan kedatangan malaikat Jibril menyampaikan wahyu-wahyu-Ku? (7)
Bukan pulakah Allah mendapatimu seorang yang berkekurangan, yakni tidak memiliki harta benda, lalu Dia memberi kecukupan dengan rezeki-Nya serta kepuasan hati? (8).
Tiga anugerah Allah yang diingatkan kepada Nabi SAW itu dihadapkan dengan tiga petunjuk dalam rangka mensyukuri ketiga nikmat tersebut yaitu:
Adapun anak yatim, maka janganlah sewenang-wenang terhadapnya (9). Bukankah engkau telah merasakan betapa pahitnya menjadi yatim?
Adapun peminta, yakni yang membutuhkan sehingga meminta guna menutupi kebutuhannya—baik material maupun selainnya—maka janganlah menghardiknya (10).
Adapun menyangkut nikmat Tuhanmu, maka sampaikan atau sebut-sebutlah (11).*)
*) Penyampaian nikmat/anugerah tersebut tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat material, tetapi mencakup juga yang immaterial, semacam nama baik dan kedudukan yang diperoleh. Ini dianjurkan untuk disebut-sebut selama tidak diikuti oleh rasa keangkuhan dan kebanggaan yang terlarang.
Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Ayat 6-11
1. Perlindungan bersumber dari Allah SWT, walau sepintas terlihat melalui tangan-tangan manusia.**)
2. Nabi SAW tidak dikenal sebagai seorang kaya. Namun, Allah menganugerahi beliau kecukupan berupa kepuasan hati setelah usaha halal maksimal. Dan itulah kekayaan yang sebenarnya.
3. Yang pertama dan utama yang dituntut terhadap anak-anak yatim adalah bersikap baik dengan menjaga perasaan mereka, bukannya memberi mereka pangan. Menyakiti perasaan anak kecil dapat menimbulkan kompleks kejiwaan yang terbawa hingga dewasa. Dampaknya jauh lebih buruk daripada kekurangan dalam bidang material.
4. Menyebut-nyebut nikmat Tuhan apabila disertai dengan rasa puas sambil menjauhkan rasa angkuh merupakan salah satu bentuk pengejawantahan dari kesyukuran kepada Allah SWT.
5. Tiga tuntunan pada akhir surah ini, diperurutkan sedemikian rupa. Agaknya Allah SWT sengaja mendahulukan arangan berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim dan larangan menghardik siapa pun yang meminta —sengaja mendahulukan kedua petunjuk ini—atas petunjuk yang dikandung oleh ayat 11, yakni menyampaikan/berbicara tentang nikmat Allah, agar dengan demikian Allah mendahulukan hak dan kepentingan anak-anak yatim serta orang-orang yang sangat berhajat atas hak-Nya sendiri, karena keduanya merupakan makhluk dhaif yang mendambakan bantuan, sedang Dia (Allah) adalah Zat yang tidak memerlukan apa pun. Dengan demikian, membantu yang dhaif dan perlu harus didahulukan atas yang kuasa dan mampu.
**) Sejarah menguraikan bahwa ayah Nabi SAW, Abdullah, wafat saat usia beliau dalam kandungan baru dua bulan. Pada usia enam tahun ibu beliau, Aminah, kembali juga ke rahmat Allah sehingga Muhammad saw. dipelihara dan diasuh oleh kakeknnya, Abdul Muththalib. Setelah dua tahun kemudian sang kakek pun meninggal, seterusnya paman beliau, Abu Thalib, tampil sebagai pengasuh sekaligus pelindung utama beliau hingga dewasa, bahkan hingga diangkat menjadi Nabi. Demikian antara lain perlindungan Allah kepada Nabi SAW yang dianugerahkan-Nya melalui manusia.
Demikian, wa Allah A'lam.
Sumber : Detik.com dari Tafsir Al Mishbah